Konflik Hutan Vs Antropologi Hukum

Konflik Hutan VS Antropologi Hukum

Murtijo


Pada hakekatnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik kekuasaan dimana hukum dilihat sebagai representasi simbolis kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak yang berkuasa atau suatu bentuk negoisasi historis diantara kelompok yang ada akibat suatu sistem hierarki pelapisan sosial dan dominasi tertentu (Starr & Colier, 1989). Hukum dan aturan-aturan secara substansial hanyalah merupakan suatu alat untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya alam yang berharga dan terbatas. Karenanya, hukum juga dapat dilihat sebagai sebuah perangkat pembenaran tindakan, dan dalam penggunaannya setiap orang yang bersengketa dapat menggunakan berbagai hukum dan aturannya secara sekaligus, atau menggabungkan hukum adat dan hukum lainnya, khususnya hukum nasional, sebagai suatu hukum baru (Achdiat, 1993).

Dalam konteks aturan yang menjadi dasar penetapan kebijakan pengelolaan hutan, hukum tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para individu pembuat aturan. Hukum tertulis senantiasa terkait dengan sistem sosial budaya para birokrat. Di pihak lain, masyarakat di sekitar hutan yang telah menjadi bagian integral dari ekosistem hutan sejak ratusan tahun juga telah memiliki aturan hukum tak tertulis (adat) dalam mengelola hutan. Dengan demikian, sengketa yang terjadi antara manajemen HPH dengan komuniti merupakan sebuah gejala kemajemukan hukum.

Dalam pengertian negara kegiatan pengelolaan hutan oleh individu atau kelompok masyarakat harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini tercermin melalui undang-undang yang mengatur tentang hutan dan kehutanan. Misalnya UU No. 5 tahun 1967 yang telah diganti dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 21 tahun 1970 yang diganti kemudian disempurnakan dengan PP No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan HPHH serta berbagai Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kenyataannya, disamping aturan pemerintah yang bersifat tertulis terdapat pula aturan-aturan lain di luar itu yang juga ditaati serta menjadi acuan sebagian masyarakat lain bagi aktivitas pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Benda Beckman (1989) dalam Ihromi (1993) bahwa hukum tertulis yang merupakan produk dari badan pembuat undang-undang di negara modern bukanlah merupakan suatu sistem hukum yang bukan “sendirian” memonopoli pengaturan kehidupan warga masyarakat. Karena itu yang penting adalah bagaimanakah aturan-aturan yang tidak berasal dari negara bersama dengan hukum negara mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Secara teoritis, bila keberadaan hukum bersifat sejajar (equality) maka hubungan antara manajemen unit HPH dan masyarakat setempat akan bersifat asosiatif. Namun bila dampak dari kemajemukan hukum menyebabkan suatu aturan menjadi subordinat terhadap aturan yang lain, maka akan timbul bentuk hubungan yang bersifat dissosiatif. Bentuk hubungan yang bersifat dissosiatif bisa berkembang dari yang paling ringan seperti kompetisi (competition), sengketa (dispute), balas dendam (feud) hingga perang (war) (Achdiat, 1997).

Kemampuan membuktikan interaksi hukum dalam konteks kemajemukan hukum pada tingkat mikro hanya dapat diperoleh bila diantara komunitas dan komuniti terjadi kasus-kasus konflik. Sebab kasus konflik merupakan suatu bentuk interaksi hukum dimana keberadaan hukum itu memang hidup dan berlaku di tengah masyarakat. Hal ini sangat penting terutama bila dikaitkan dengan keberadaan hukum masyarakat setempat yang tidak tertulis yang sulit kiranya untuk memastikan serta membuktikan bahwa aturan tak tertulis tersebut memang hidup dan berinteraksi di tengah masyarakat setempat. Hoebel (1941) dalam Ihromi (1993) menyatakan bahwa dalam kajian hukum di tengah komunitas yang belum mengenal tulisan dikenal 3 alur pengkajian. Alur pertama disebut alur ideologis dimana diidentifikasi aturan yang umumnya di lingkungan masyarakat setempat bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku. Alur kedua bersifat deskriptif, yaitu mengkaji bagaimana individu-individu masyarakat setempat nyata-nyata bertindak dan berlaku dalam keseharian. Hal ini menyangkut sistem sosial, ekonomi, budaya serta aspek-aspek kehidupan yang lain. Alur ketiga adalah mengkaji ketegangan-ketegangan, perselisihan, keonaran dan keluhan-keluhan yang merupakan konflik diantara para anggota masyarakat setempat.

Karena itu dalam konteks konflik yang terjadi antara manajemen unit HPH yang mendasarkan legalitas kegiatannya pada hukum tertulis dengan masyarakat setempat yang mendasarkan legalitas aktivitasnya pada hukum tak tertulis, menjadi sangat penting untuk melakukan pengkajian atas kedua aturan hukum tersebut di tengah masyarakat. Apakah aturan-aturan hukum tersebut hanya berlaku secara ideologis atau memang hidup dan berinteraksi sesuai dengan perilaku nyata masyarakat setempat yang tercermin dari timbulnya berbagai kasus konflik. Hal ini menjadi lebih relevan mengingat dalam suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa suku atau sub suku juga memiliki perbedaan aturan (tak tertulis) diantara mereka. Suatu obyek konflik bisa memiliki dasar aturan yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Karena itu, pada kenyataannya konflik dapat timbul di antara individu-individu dalam kelompok yang sama (within group atau inter group) atau antar individu pada kelompok yang berbeda, atau terjadi pada kelompok-kelompok (intra group) (Kriekhoff, 1993).

Dalam suatu kasus konflik sangat diperlukan adanya pemahaman terhadap tahapan-tahapan konflik, dimana seseorang bisa menentukan bahwa konflik telah memasuki suatu tahap tertentu. Hal ini secara langsung maupun tidak juga berpengaruh terhadap upaya penyelesaiannya. Nader dan Todd (1978) dalam Kierkhoff (1993) secara eksplisit membedakan tahapan konflik ke dalam (1) pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, (2) konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut., dan (3) sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.

Leave a comment