Budaya Kajian Antropologi

Budaya Kajian Antropologi

Oleh: Murtijo


Kebudayaan berasal dari kata sanskerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”. Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah culture yang berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah” atau “mengerjakan”. Dari terminologi bahasa tersebut kemudian terlahir definisi kebudayaan yang berarti segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Definisi sederhana tentang kebudayaan ini kemudian menjadi bahan perdebatan akademik, sehingga muncul kumpulan definisi kebudayaan sebanyak 176 definisi yang dikumpulkan oleh A.L Kroeber dan C. Kluckhohn. Kedua ahli ini kemudian mengklasifikasikan budaya dalam 9 tipe definisi yang dianalisa berdasarkan latar belakang, prinsip, serta intinya.

Koentjaraningrat -bapak Antropologi Indonesia- membatasi konsep kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar[1]. Berdasar definisi budaya tersebut, maka hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Hal ini didasarkan pada tindakan manusia yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak diperoleh melalui proses belajar jumlahnya sangat terbatas. Bahkan, berbagai tindakan yang merupakan naluri manusia, seperti makan, minum, dan berjalan juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan[2].

Geertz seorang tokoh antropologi aliran hermeneutik mendefinisikan kebudayaan sebagai seperangkat pengetahuan yang dimiliki manusia dan dipergunakan untuk menerangkan pengalaman dan membangkitkan perilakunya. Kebudayaan dalam buku klasik “Man and His Works” karangan M.J. Herkovits mempunyai delapan ciri, yaitu (1) dapat dipelajari, (2) bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3) mempunyai struktur, (4) dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel, (7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisa dengan metode ilmiah, dan (8) alat bagi seseorang untuk mengatur keadaan sosialnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.

Kebudayaan dalam perkembangan dialektika keilmuan dibedakan berdasar jenis wujudnya. Pakar sosiologi Talcott Parsons dan pakar antropologi A.L. Kroeber membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem gagasan dengan wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan yang berpola. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat mempunyai 4 wujud yang secara simbolis digambarkan dalam sebuah bentuk lingkaran[3]. Keempat wujud kebudayaan tersebut yang diawali dari lingkaran paling luar, berupa (1) benda-benda fisik (artifacts), (2) sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, (3) sistem gagasan, dan (4) sistem ideologi sebagai inti budaya[4].

Benda-benda fisik kebudayaan sebagai hasil karya manusia mempunyai 3 sifat, yaitu (1) konkret, (2) dapat diraba dan (3) dapat difoto. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret adalah “kebudayaan fisik”. Adapun benda-benda fisik yang termasuk kebudayaan fisik adalah candi, kapal, komputer, meja dan sebagainya Sedangkan, kebudayaan dalam wujud sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola juga mempunyai 3 sifat, yaitu (1) konkret, (2) dapat difoto, dan (2) dapat di film. Semua gerak-gerik manusia yang dilakukan setiap saat merupakan pola tingkah laku yang didasarkan pada sistem, sehingga pola tingkah laku manusia disebut “sistem sosial”. Adapun contoh sistem sosial sebagai pola tingkah laku manusia yang merupakan kebudayaan adalah menari, menyanyi, cara bertani, cara berkebun dan sebagainya. Selanjutnya kebudayaan dalam wujud sistem gagasan mempunyai 4 sifat, yaitu (1) abstrak, (2) tidak dapat difoto, (3) tidak dapat di film, dan (4) hanya bisa diketahui setelah dipelajari mendalam dengan menggunakan metode wawancara intensif. Kebudayaan dalam wujud gagasan disebut “sistem budaya”. Contoh wujud gagasan dalam kebudayaan adalah konsepsi tentang kesehatan, pendidikan, atau perkawinan. Terakhir, untuk kebudayaan dalam wujud sistem ideologi merupakan gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini dan sangat sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur adalah “nilai-nilai budaya”. Nilai-nilai budaya menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkah lakunya.

Empat wujud kebudayaan yang salah satunya berupa sistem nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan paling abstrak dari kebudayaan sebuah masyarakat. Hal ini disebabkan nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman hidup warga masyarakat[5]. Dalam setiap masyarakat, baik yang termasuk masyarakat kompleks maupun sederhana terdapat sejumlah budaya yang saling berkaitan dalam rajutan sebuah sistem. Sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal, maka sistem nilai budaya menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga masyarakat. Sistem nilai budaya dipakai oleh masyarakat sebagai pandangan hidup yang mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dalam masyarakat[6]. Sistem nilai budaya dalam cakupan lebih khusus disebut sebagai norma.

Norma merupakan aturan tindakan dalam hidup bermasyarakat yang bersifat khusus, perumusan terinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Norma secara khusus dapat digolongkan menurut pranata-pranata yang ada di masyarakat[7]. Norma-norma yang ada dalam suatu pranata maupun di sub-sub pranata masyarakat saling berkaitan dengan sistem integral. Orang yang paham mengenai seluk beluk sistem norma dalam sebuah pranata di masyarakat adalah para ahli adat[8]. Para ahli adat bertugas mengawal perjalanan sistem norma adat dalam pranata masyarakat dengan memberi sanksi sosial bagi pelanggar norma adat. Pelanggaran terhadap suatu norma yang dianggap tidak begitu berat umumnya hanya menjadi bahan ejekan atau gunjingan para warga masyarakat. Sebaliknya, ada norma-norma yang berakibat panjang apabila dilanggar, sehingga pelanggarnya bisa dituntut, diadili, dan dihukum[9]. Norma dalam sebuah masyarakat yang mempunyai akibat panjang bagi pelangar dengan memberi sanksi hukum mengindikasikan, bahwa masyarakat tersebut hukum adatnya masih berfungsi.

Aktivitas hukum berdasar pengertian umum (baca:negara) berarti sistem penjagaan tata tertib masyarakat yang sifatnya memaksa, dan diperkuat oleh sistem alat kekuasaan yang diorganisasi oleh negara[10]. Meskipun, masyarakat yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan negara dalam kenyataannya dapat hidup teratur dan tenang. Hal ini disebabkan masyarakat bersangkutan memiliki sistem hukum adat yang ditaati oleh segenap warganya. A.R. Radclife Brown mengatakan, bahwa masyarakat terpencil yang tidak terjamah oleh kekuatan hukum negara dapat hidup harmonis, dikarenakan mereka memiliki suatu kompleks norma-norma umum yang sifatnya mantap dan ditaati oleh semua warga. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi secara otomatis akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga pelanggarnya akan dikenai hukuman.

Bercermin pada ruang lingkup kebudayaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem nilai budaya yang kuat akan menjamin keteraturan dan keharmonian masyarakat[11]. Namun, keteraturan dan keharmonian menjadi bahan perenungan ketika sifat budaya yang dinamis diperhadapkan dengan semangat globalisasi dan modernisasi yang telah menjalar ke relung kehidupan masyarakat, termasuk tujuh unsur budaya yang senantiasa ada di setiap masyarakat[12]. Ketujuh unsur universal kebudayaan dalam setiap masyarakat mempunyai kekhasan tersendiri yang merupakan identitas bersama. Dinamika budaya yang terus berputar mengharuskan tujuh unsur budaya universal tersebut mengalami perubahan dan perkembangan. Pemahaman tujuh unsur universal budaya oleh ahli antropologi kehutanan merupakan sebuah keniscayaan sebagai pedoman analisis untuk memaknai karakter budaya masyarakat desa hutan Indonesia yang bersifat plural[13].

Antropolog &

Mahasiswa MM-CSR Trisakti


[1] Definisi kebudayaan Koentjaraningrat ini mirip dari definisi yang dikemukakan oleh Kluckhohn, yaitu kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar.

[2] Manusia makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap wajar dan pantas harus didapat melalui proses belajar, seperti makan dan minum di tempat resepsi pernikahan dengan menggunakan alat-alat, cara-cara, sopan-santun atau beberapa protokol yang harus dipelajari secara susah payah. Berjalan pun tidak dilakukan sesuai dengan wujud organisme yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajari terlebih dahulu, misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau peragawati.

[3] J.J. Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts.

[4] R. Linton dalam bukunya The Study of Man membagi cultural universals ke dalam 4 tahap, yaitu (1) cultural activities, (2) complexes, (3) traits, dan (4) items. Untuk wujud sistem sosial dan wujud fisik dari kebudayaan, Linton memberi contoh mengenai perincian unsur kebudayaan besar ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil. Di zaman itu, konsep mengenai perbedaan antar sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik belum berkembang dalam antroplogi.

[5] Meskipun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup, namun sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional. Akan tetapi justru karena itulah sistem nilai budaya berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. Lagi pula sejak kecil orang telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang ada dalam relung kehidupan masyarakat, sehingga konsep-konsep budaya berakar di alam jiwa masyarakat. Atas dasar itu untuk mengganti suatu nilai budaya masyarakat dengan nilai budaya baru dibutuhkan waktu yang lama.

[6] Dengan demikian, apabila sistem nilai budaya dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat, maka pandangan hidup merupakan pedoman yang dianut hanya oleh individu-individu tertentu di masyarakat. Karenanya suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh masyarakat.

[7] Setiap masyarakat memiliki pranata-pranata sosial, seperti pranata pendidikan, peradilan, ekonomi, kesenian, keagamaan, dan sebagainya. Dalam setiap pranata ada berbagai kedudukan disesuaikan dengan peranan seorang individu dalam pranata tersebut.

[8] Para ahli adat inilah tempat para warga masyarakat awam yang memiliki pengetahuan mengenai adat yang terbatas dapat meminta nasihat. Dalam suatu masyarakat yang sederhana, dimana jumlah pranata sedikit dan komuntas kehidupan kecil, maka pengetahuan mengenai semua norma dikuasai oleh satu orang ahli adat saja. Berbeda dengan masyarakat yang berkembang dan kompleks dengan jumlah pranata banyak dan komunitas kehidupan besar, maka pengetahuan tentang norma tidak hanya dikuasai oleh seorang ahli adat.

[9] W.G Sumner seorang ahli sosilogi membagi norma-norma dalam 2 golongan, yaitu (1) folkways atau “tata cara”, dan (2) mores atau “adat istiadat arti khusus” (Koentjaraningrat, 1996: 78).

[10] Sifat “paksaan” dalam sistem hukum negara maupun hukum adat senatiasa ada. Dalam masyarakat yang tidak mengenal negara sebagai organisasi yang bersifat memaksa, paksaan dilakukan oleh golongan yang berkuasa yang ada dalam setiap jenis masyarakat.

[11] Kebudayaan berdasarkan fungsi dibedakan menjadi 2, yaitu (1) sebagai sarana beradaptasi dengan lingkungan hidup manusia, dan (2) untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

[12] Kebudayaan menurut C. Kluckhohn mempunyai 7 unsur universal kebudayaan yang senantiasa ada dalam masyarakat, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencarian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.

[13] Kebudayaan menurut sifatnya digolongkan dalam 7 sifat budaya, yaitu (1) terbagi yang dimiliki secara kolektif, (2) adaptif dapat disesuaikan dan menyesuaikan, (3) integratif dengan melihat secara keseluruhan, (4) dipelajari melalui proses belajar, (5) memaksa, (6) supra organik dengan tetap mengikuti budaya yang ada mesti para tetua telah meninggal, dan (7) berubah dari waktu ke waktu.

Leave a comment