Hutan Jarahan Banyak Orang

HUTAN JARAHAN BANYAK ORANG:

POTRET KELOLA HUTAN PETUNGKRIYONO

Oleh : Murtijo [1]


Hutan Petungkriyono yang membentang di kaki bukit Pegunungan Slamet termasuk dalam kesatuan pemangkuan hutan (KPH) Pekalongan Timur. Sebagian besar wilayah Petungkriyono berupa hutan, perbukitan luas berselimut rumput dan tegalan sempit. Wilayah Petungkriyono terbagi menjadi 9 desa[2], mulai dari wilayah paling atas pada ketinggian 1.634 meter hingga 500 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Petungkriyono dikuasai oleh Perhutani, sementara masyarakat hanya mempunyai lahan pertanian yang sempit[3]. Kondisi tersebut berdampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang memaksa masyarakat untuk mencari pekerjaan serabutan selain bertani, termasuk menjarah lahan dan mencuri kayu di hutan negara. Hamparan hutan yang ada di depan mata masyarakat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tekanan sosial ini berakibat terjadinya kerusakan hutan. Hutan dijadikan sebagai ladang jarahan banyak orang. Para pihak terlibat dalam praktek perusakan hutan negara, baik masyarakat maupun oknum aparat kehutanan.

Rusaknya Hutan

Berdasar status kepemilikannya hutan di Petungkriyono dibedakan menjadi 2, yaitu hutan rakyat dan hutan negara. Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah milik masyarakat dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi tanaman perkayuan dengan jumlah tahun pertama minimal 500 batang[4]. Sementara hutan negara memiliki pemahaman sebagai hutan yang tumbuh di atas tanah milik negara yang pengelolaannya untuk di Jawa diserahkan kepada Perhutani. Perhutani membagi hutan negara di Petungkriyono menjadi 3 jenis, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan perketekan[5].

Berkurangnya kayu pinus di hutan produksi, langkanya kayu besar di hutan lindung, dan banjir di kota Pekalongan pada bulan Februari 2002, membuktikan bahwa hutan negara di Petungkriyono mengalami kerusakan. Hutan negara diperebutkan oleh pemerintah daerah, Perhutani, dan masyarakat. Pemerintah kabupaten berpegang pada UU No 22/1999 tentang otonomi daerah, mempunyai wewenang ikut mengurusi, mengelola segala aset ekonomi di daerah termasuk hutan[6]. Keadaan ini membuat pemerintah Kabupaten Pekalongan ingin dilibatkan dalam pengelolaan hutan bersama Perhutani sebagai perusahaan yang beroperasi di daerahnya[7].

Perhutani sebagai perusahaan negara yang secara hukum berkuasa atas hutan keberatan melepaskan haknya. Hutan adalah milik negara, siapa yang berani melanggar aturan akan mendapat sanksi. Pendekatan keamanan untuk menjaga kelestarian hutan lebih diutamakan, meskipun mulai tahun 2001 telah digulirkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Meskipun, dalam implementasi belum berjalan optimal. Terbukti, PHBM masih belum mengakar dan terkesan hanya sebagai lip service saja. Dominasi pengelolaan hutan masih dipegang oleh Perhutani.

Lain hal dengan masyarakat Petungkriyono yang merasa sama-sama warga negara Republik Indonesia, tetapi tidak diperhatikan kesejahteraannya. Bahkan, menganggap haknya atas hutan telah dirampas oleh negara. Masyarakat Petungkriyono merasa bahwa hutan adalah miliknya, terbukti dengan adanya nama-nama daerah di dalam hutan negara, seperti Nyarman, Ngangga, Bodha, Kliweran, dan lain-lain[8]. Perhutani sebagai penguasa hutan baru datang sekitar 40 tahun yang lalu, sehingga sebenarnya masyarakatlah yang lebih mempunyai hak atas hutan ini, tungkas tokoh masyarakat Petungkriyono.

Sama-sama berkepentingan dan merasa berhak atas hutan negara membuat mereka saling berebut untuk mengambil manfaat dari hutan negara. Manfaat hutan negara yang dijarah dan diperebutkan antara lain; hutan primer, hutan perketekan, kayu pinus, rumput, dan lahan. Hutan primer disadari oleh semua pihak bermanfaat untuk penahan maupun sumber air yang berguna untuk irigasi pertanian dan penahan banjir bagi masyarakat kota Pekalongan. Kesadaran itu ternyata hanya sebatas lisan saja, sebab dalam kenyataannya masyarakat, mandor hutan, dan pegawai pemerintah kecamatan malah merusak hutan primer untuk keuntungan pribadi. Bukti tersebut dapat dilihat pada tahun 1998 ketika program pemerataan jaringan listrik yang dilaksanakan oleh CV. Dian Putra Banjarnegara melewati Gumelem melalui Selirang. Peraturan mengharuskan penebangan bagi pohon-pohon yang berjarak 3 meter dari kabel jaringan, tetapi pada kenyataan pohon-pohon yang berjarak lebih dari 18 meter juga ikut ditebang. Bekas penebangan kayu tersebut terlihat di hutan lindung sebelah barat Gumelem yang sekarang tinggal ditumbuhi semak-semak dan kaliandra.

Bukti lain adalah sering dijumpainya kusen, blandar, dan usuk di rumah penduduk yang berasal dari jenis kayu yang hanya tumbuh di hutan lindung. Demikian pula dengan kayu rimba yang telah disulap menjadi mebel-mebel di kota besar. Masyarakat memilih mengambil kayu di hutan primer, sebab resiko ketahuan mandor hutan lebih kecil dan jenis kayu di hutan primer untuk bahan bangunan lebih bagus dibandingkan kayu tegalan atau kayu pinus yang mengelilingi kampung mereka. Mandor hutan mengambil kayu di hutan primer, sebab harga kayu dari hutan primer lebih mahal dibandingkan harga kayu pinus. Masyarakat dan mandor hutan berlomba mencuri kayu hutan dan takut kalau sampai tidak kebagian. Mereka menggunakan waktu luang untuk mengambil kayu di hutan primer, meskipun kayu tersebut tidak langsung digunakan, melainkan untuk persiapan sewaktu-waktu membangun rumah atau disimpan jika ada tetangga yang membutuhkan.

Kayu di hutan perketekan merupakan barang yang diperebutkan oleh masyarakat. Siapa saja yang mengambil terlebih dahulu, dia yang memiliki. Masyarakat boleh mengambil manfaat kayu di hutan perketekan menurut kemampuannya. Hutan perketekan dahulu dipersiapkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan kayu bangunan, tetapi sekarang hanya sebatas untuk kayu bakar sebab kayu besar sudah tidak ada. Habisnya kayu besar ini disebabkan masyarakat berlomba mengambil kayu di hutan perketekan, sehingga saat ini kayu besar menjadi pemandangan yang langka.

Kayu pinus di hutan negara merupakan barang yang dijadikan sumber jarahan dan korupsi. Pohon pinus ditanam sebagai sumber devisa bagi negara dan juga membantu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tujuan yang mulia dari negara tersebut pada prakteknya tidak dilaksanakan benar-benar, bahkan banyak orang mengambil manfaat kayu pinus untuk keuntungan pribadi. Masyarakat Petungkriyono yang sebagian besar belum mengenal kompor minyak dan gas selalu membutuhkan kayu bakar. Kayu bakar yang digunakan kebanyakan berupa kayu pinus, sebab mudah terbakar. Kayu pinus sekarang ini selain sebagai kayu bakar juga digunakan untuk kayu bangunan, sebab ternyata kayu pinus tahan lama dan tidak dimakan rayap.

Langkanya kayu rimba di hutan Petungkriyono dan naiknya harga kayu pada pertengahan tahun 1990 akibat permintaan pasar yang meningkat dimanfaatkan oleh sebagian mandor hutan dengan menjadikan kayu pinus sebagai sumber korupsi. Mandor hutan mencuri kayu pinus bekerja sama dengan masyarakat. Masyarakat mendapat upah dari jasa menebang dan menaikkan kayu ke truk, sedang mandor hutan mendapat uang dari penjualan kayu yang disetor ke penggergajian.

Rumput gajah yang merupakan makanan ternak lembu dan kambing di Petungkriyono menjadi sumber rebutan antar masyarakat dan sumber negosiasi yang alot dengan pihak Perhutani. Sebelum tahun 80an masyarakat memberi makan ternak dari rumput kebun, tetapi pada tahun 1985 ketika muncul lembu potong kebutuhan rumput tidak terpenuhi sehingga masyarakat terpaksa mencari rumput ke hutan negara. Usaha ternak ternyata cukup menjanjikan, maka kemudian masyarakat menanam rumput gajah di kebun. Penanaman rumput di kebun sendiri ternyata tidak mencukupi kebutuhan ternak yang terus bertambah, sehingga pada tahun 90an masyarakat diperbolehkan menanam rumput di hutan negara pinusan[9].

Banyaknya kebutuhan rumput gajah ini memicu terjadinya pencurian rumput gajah. Suatu waktu seorang perempuan menangis histeris di jalanan Kampung Dranan gara-gara rumputnya di hutan sudah diambil orang[10]. Pencurian rumput tetap terjadi, meskipun tiap orang sudah mempunyai bagian kaplingan sendiri. Pengaplingan lahan dilakukan pada tahun 1990, seiring dikeluarkannya program hutan sosial yang bertujuan menggalang kerjasama dengan masyarakat. Perhutanan sosial (social forestry) merupakan program Perhutani sebagai bentuk tanggapan gemboran suara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tentang kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang menggaung ketika bergulirnya era reformasi[11].

Lahan di hutan negara merupakan incaran banyak orang agar bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Sedang lahan yang dimiliki petani merupakan modal pokok petani untuk memperoleh penghasilan. Sempitnya lahan yang dimiliki masyarakat (rata-rata kurang dari ½ ha) menjadi masalah pokok petani untuk menjadikan dirinya petani yang sejahtera. Kekurangan lahan ini oleh petani disiasati dengan menanam tanaman seperti kopi di hutan negara. Penanaman kopi di bawah pohon pinus atau di hutan lindung menjadi pemandangan yang biasa di daerah Totogan, Sipetung, Karanggondang, Sawangan, Wanadadi, Songgowedi, dan sebagian daerah Kliweran. Masyarakat yang menanam kopi di hutan negara tiap tahun diwajibkan memberi pajak pada mandor yang mengawasi daerah tersebut. Setiap dusun dibebankan 50 kg kopi kering, yang pengumpulannya dikoordinir oleh kepala dusun. Banyak sedikitnya beban pajak kopi tiap petani disesuaikan dengan luas tanaman kopi[12]. Bentuk kerjasama saling menguntungkan “tahu sama tahu” antara masyarakat dan mandor merupakan bukti kurangnya pendapatan petani dan mandor serta lemahnya penegakan hukum yang menganggap hutan sebagai wilayah tak “bertuan”.

Anggapan hutan negara sebagai wilayah tak bertuan dan sumber jarahan banyak orang tidak terlepas dari faktor manfaat ekonomi dan ketidakjelasan status kepemilikan hutan. Kenyataan ini membuat rusaknya hutan di Petungkriyono. Rusaknya hutan merupakan pemandangan yang mudah ditemui. Dari gardu terpampang luas panorama pegunungan dan hamparan pemukiman. Gunung Beser di sebelah barat Mudal miskin tumbuhan dan kayu hutan, sehingga yang tampak hanyalah bekas tonggak kayu pinus yang hangus terbakar[13]. Gunung Beser dulu mempunyai sumber mata air yang berlimpah, ketika hutan rimba masih ada. Akan tetapi, setelah diganti pohon pinus sumber air Gunung Beser menjadi kering. Keadaan ini, karena pohon pinus mempunyai sifat mengeringkan mata air. Hijaunya daun sepanjang tahun dan tumbuhnya lumut di sekitar pohon pinus merupakan bukti banyaknya penyerapan air oleh pohon pinus. Pohon pinus kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan, tidak ada waktu menggugurkan daun untuk mengurangi penguapan. Daun paku pinus sulit diuraikan, sehingga membuat kesuburan tanah berkurang. Air di Dusun Dranan akan kering apabila dalam sepuluh hari berturut-turut tidak ada hujan. Air menjadi langka dan sungai kering di musim kemarau.

Selain perubahan sistem monokultur tanaman pinus di hutan Petungkriyono sebagai penyebab langkanya air di Petungkriyo, meningkatnya intensitas pertanian juga berpengaruh terhadap daya serap air. Sebelum ditemukannya varietas unggul (1985), orang menanam padi setahun satu kali, tapi sekarang bisa tiga kali. Dahulu ada saat tanah diistirahatkan untuk mengembalikan kesuburannya, tetapi sekarang tanah ditanami sepanjang tahun. Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya intensitas pertanian mengakibatkan air menjadi langka (Sarief, 1985:3-6; Fauzi, 1999:166, Bachriadi dan Anton, 2001:19, Purwanto dan Warsito, 2001:57). Orang sekarang berebut air untuk mengairi lahan. Kelangkaan air di musim kemarau menunjukkan hutan di Petungkriyono mengalami kerusakan, sebagai akibat hutan negara dianggap dan diperlakukan sebagai sumber daya milik bersama.

Pemerintah sejak dahulu memperlakukan hutan sebagai sumber daya “milik bersama”. Pemerintah memperlakukan hutan semena-mena, hutan dieksploitasi semaksimal mungkin sampai rusak. Rakyat dikorbankan untuk memperbaiki kerusakan hutan tersebut. Penciptaan hutan sebagai milik bersama oleh pemerintah membuat masyarakat juga memperlakukan hutan semena-mena. Rakyat akan mengambil kayu hutan untuk kepentingan pribadi, jika membutuhkan dan waktu memungkinkan. Kondisi ini membuat hutan menjadi rebutan dan terus mengalami kerusakan.

Hutan Jarahan Banyak Orang

Menurut peraturan mandor hutan berkewajiban menjaga dan mengelola hutan. Hutan dijaga dari keserakahan manusia, khususnya masyarakat sekitar hutan. Sedang pengelolaan hutan ditujukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan Perhutani. Masyarakat sekeliling hutan tidak boleh mengambil manfaat ekonomi dari hutan, sebab hutan dikuasai Perhutani dan hanya Perhutani yang bisa mengambil manfaatnya. Perhutani mempunyai staf mandor dan polisi hutan yang berwenang menangkap orang yang terbukti merusak atau mengambil manfaat ekonomi dari hutan pemerintah (Dephut, 1986:75-77).

Posisi mandor hutan dan masyarakat yang harusnya ‘tegang’ dan ‘disiplin’ pada kenyataannya berbeda. Mereka malah bekerja sama ‘tahu sama tahu’, karena sama-sama butuh dan sama-sama “wong deso”, (orang desa, tetangganya). Mandor hutan di Petungkriyono membutuhkan masyarakat untuk menyadap getah pinus demi tercapainya target dan agar mereka tidak dipecat, sedang masyarakat butuh tambahan penghasilan. Masyarakat Petungkriyono sebagai masyarakat desa selalu butuh kayu untuk bahan bakar dan pertukangan. Sedang mandor hutan butuh penghasilan tambahan, sebab gajinya belum mampu menyejahterakan mereka. Hal ini membuat mereka lebih terbuka dalam bekerja sama untuk bisa merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari hutan negara. Mandor hutan akan membiarkan masyarakat jika mau mengambil kayu hutan dan masyarakat akan membantu mandor jika mau menggerogoti kekayaan hutan negara. Mereka bekerja sama “tahu sama tahu” memanfaatkan hutan negara untuk dijarah demi memperkaya diri.

“Tahu sama tahu” ini membuat kedekatan hubungan antara mandor hutan dengan masyarakat dan mereka saling mengetahui kekurangan masing-masing. Mandor mengetahui kalau masyarakat mencuri kayu hutan dan dia juga sadar kalau dirinya juga menguras kayu hutan. Begitu juga masyarakat, mereka mengetahui kalau mandor adalah pagar makan tanaman dan dia sadar bahwa dirinya tidak bisa hidup jika tidak mencuri kayu hutan. Kenyataan tersebut mendorong mandor hutan membiarkan masyarakat mengambil kayu di hutan dan masyarakat membiarkan mandor hutan mengambil kayu secara tidak sah. Hutan dalam kenyataannya diperlakukan sebagai milik bersama, masyarakat dan mandor hutan dapat mengambil sesuai kebutuhan selama hutan masih ada. Keduanya sama-sama diam dan tutup mata atas rusaknya hutan.

Masyarakat memperlakukan hutan sebagai sumber daya milik bersama. Hutan dalam gagasan masyarakat dianggap tidak ada pemiliknya, sehingga masyarakat memperlakukan hutan sesuka hati dan bertindak untuk keuntungan diri sendiri. Masyarakat mengambil kayu hutan seoptimal mungkin takut tidak kebagian, siapa yang lebih dahulu mengambil berarti yang memiliki. Aturan kewenangan Perhutani dianggap tidak ada, sehingga masyarakat tidak takut dengan mandor hutan. Bahkan keduanya bekerja sama ‘tahu sama tahu’ untuk menguras kayu hutan. Munculnya budaya tahu sama tahu ini dikarenakan hutan oleh masyarakat maupun mandor hutan diperlakukan sebagai sumber daya milik bersama.

Pengurasan sumberdaya hutan juga dilakukan oleh mandor sebagai penjaga hutan, pagar makan tanaman. Pengambilan kayu hutan tidak resmi yang dilakukan mandor hutan sudah menjadi rahasia umum, sehingga apabila warga butuh kayu tegakan pinus maka mereka tidak malu-malu untuk meminta langsung kepada mandor hutan, meskipun harus memberi uang rokok[14]. Kasus penyuapan dan pencurian yang melibatkan mandor-mandor tanpa sepengetahuan mantri merupakan usaha memperkaya diri mandor dan aktualisasi dari wacana ketidakadilan. Mandor ingin mengejar ketertinggalan tingkat ekonomi dengan mantri. Mandor dengan mantri memang kalah dalam jumlah gaji, tetapi diuntungkan oleh posisinya yang berada di tengah-tengah antara mantri dan masyarakat. Mandor memanfaatkan masyarakat untuk keuntungan pribadinya dengan melakukan pencurian kayu hutan dan menerima suap.

Mandor hutan memperlakukan hutan sebagai sumber daya milik bersama. Hutan dianggap sebagai wilayah tidak bertuan yang dapat dimiliki. Mereka berlomba mencuri kayu hutan. Mandor hutan mengejar keuntungan pribadi secara berlebihan, takut tidak kebagian. Mereka yang mengambil terlebih dahulu berarti akan mendapat bagian. Kayu hutan menjadi barang rebutan antara mandor dan atasannya. Aturan perundangan pengelolaan dan perlindungan hutan dianggap tidak ada, sehingga petugas sering melanggar aturan yang telah dibuatnya, mereka tak-ubahnya seperti pagar makan tanaman.

Catatan Akhir

Kerusakan hutan di Petungkriyono sudah menjadi rahasia umum. Hutan dianggap sebagai sumberdaya milik bersama yang bisa dijarah oleh siapa saja. Siapa yang cepat akan mendapat. Budaya “tahu sama tahu” antara masyarakat dengan petugas kehutanan diperparah dengan perilaku “pagar makan tanaman” yang dipraktekan oleh oknum petugas hutan. Akibatnya, hutan mengalami deforestasi yang berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang mengancam keselamatan umat manusia di sekitar hutan petungkriyono. Ancaman kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan merupakan bukti rusaknya hutan di Petungkriyono. Ketidaksejahteraan, ketidakjelasan kepemilikan hutan dan rendahnya penegakan hukum menjadi pendukung tumbuh suburnya praktek perusakan hutan di Petungkriyono. Cepat atau lambat lingkungan akan membalas keserakahan manusia tersebut. Kapan waktunya, hanya alam yang tahu.


[1] Sarjana Antropologi lulusan Universitas Gadjah Mada.

[2] Kesembilan desa tersebut ialah Simego, Gumelem, Tlogohendro, Sanggadadi, Curugmuncar, Yosorejo, Tlogopakis, Kasimpar, dan Kayupuring.

[3] Jumlah penduduk Desa Yosorejo pada bulan Januari 2001 tercatat 1.480 jiwa terbagi dalam 444 KK. Luas lahan sawah dan tegalan di desa tersebut 210 hektar, sehingga rata-rata tiap KK hanya mempunyai tanah kurang dari 1/2 hektar[3] (Monografi Kecamatan Petungkriyono, 1999-2000). Salah satu contoh kasar adalah Jukri yang mempunyai tegalan ukuran 25 X 25 meter, rumah 8 X 15 meter dengan pajak satu tahun sebesar Rp. 4.000,00.

[4] Hutan rakyat di Petungkriyono pada bulan September tahun 2001 seluas 600 ha dengan potensi tegakan yang tersedia 19.200 meter kubik (Dishutbun Pekalongan, 2001). Jenis tanamannya antara lain: cengkeh, sengon, nangka, dan suren. Tanaman hutan rakyat ini secara resmi berada di bawah binaan Dishutbun (Dinas Hutan dan Perkebunan) Pekalongan. Hutan rakyat yang tumbuh di atas tanah milik rakyat mutlak menjadi milik pribadi, sehingga orang akan menghormati bahkan akan ikut menjaga jika ada orang lain yang akan merusak. Hutan rakyat bukan menjadi barang jarahan, sebab mempunyai kejelasan status kepemilikan, yakni milik penduduk.

[5] Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai cadangan air, keseimbangan iklim, pengantisipasi hilangnya lapisan tanah, serta untuk keindahan dan sumber penelitian. Hutan produksi diharapkan mampu menghasilkan keuntungan sebagai sumber devisa negara. Sedang, hutan perketekan merupakan hutan yang difungsikan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan kayu bangunan masyarakat.

[6] Semangat otonomi daerah telah memberi peluang bagi munculnya kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang bertumpu pada penggalian sebesar-besarnya pendapatan asli daerah setempat, sehingga dapat membahayakan segi-segi kelestarian dan konservasi sumber daya hutan.

[7] Ini terlihat dari usul lurah Yosorejo dalam pertemuan semiloka di Kajen, Pekalongan tentang retribusi Perhutani ke desa.

[8] Pemberian nama blok didasarkan tetenger, biar mudah diingat dan menandakan kepemilikan. Seperti blok Nyarman, berarti dulu milik Sarman; Ngangga, dulu Sangga pernah disitu; Bodha, dulu ada seorang Budha tinggal di blok tersebut; Kliweran, dulu dihubungkan dengan mithos Baroklinting yang berubah wujud menjadi ular dan kliwarkliwer di daerah tersebut, sehingga kampung di daerah tersebut dinamai Kliweran.

[9] Seekor lembu besar menghabiskan satu setengah keranjang rumput dalam sehari. Satu keranjang rumput didapat dari luas lahan 6 meter persegi. Rata-rata setiap keluarga mempunyai 3 lembu, sedang jumlah kepala keluarga (KK) di Yosorejo ada 444 KK. Dengan asumsi tersebut, maka setiap harinya kebutuhan rumput gajah Desa Yosorejo mencapai 2.098 keranjang, yang diambil dari lahan sekitar 1, 25 ha.

[10] Menangis atau mencakmencak di muka umum adalah sarana protes di Petungkriyono. Dengan cara ini masalah pribadi diangkat ke muka publik sehingga semua orang jadi tahu dan orang yang bersalah terdorong untuk melakukan perbaikan atau tidak mengulangi lagi kesalahannya.

[11] Penanaman rumput gajah dibebaskan oleh Perhutani, asal tidak di hutan lindung. Untuk menanam rumput gajah, warga memilih lahan yang subur, strategis, dan dekat dengan rumah. Rumput yang ditanam tidak disesuaikan dengan jumlah ternak yang dimiliki, sehingga terkadang ada rumput gajah yang tingginya sudah lebih dari 2 meter tetapi belum dipanen, sementara itu juga ada peternak yang kekurangan rumput. Hal ini disebabkan masyarakat berpikir yang penting mendapat tempat menanam seluas-luasnya tanpa perlu memperhitungkan kemampuan dan kebutuhan yang sebenarnya.

[12] Beban pajak menanam kopi tahun 2001 tidak diambil oleh mandor Kamto yang mungkin disebabkan rendahnya harga kopi (Rp. 3000,00/ kg) atau makin ketatnya pengawasan Perhutani kepada mandor yang berani makan suap. Bibit kopi diambil dari hutan lindung di daerah Sawangan. Penanaman kopi makin marak sekitar tahun 1998, setelah harga kopi mencapai Rp. 16.000,0/ kg. Melambungnya harga kopi ini membuat warga yang tadinya tidak menanam, ikut-ikutan menanam. Saat ini kopi yang ada di hutan negara kebanyakan baru berumur 2-3 tahun.

[13] Gunung Beser miskin tumbuhan, tonggak kayu pinus menjadi pandangan di lereng gunung. Tonggak kayu pinus mudah sekali terbakar, karena mengandung minyak. Orang sering iseng bermain korek api untuk membakar bekas tongak kayu pinus, sehingga yang tampak tonggak kayu pinus hitam yang hangus terbakar. “Tonggak kayu di hutan itu mempunyai arti. Tonggak kayu yang agak tinggi dan seperti bekas patahan itu berarti akibat bencana angin. Sedang tonggak kayu yang rata tanah bekas senjata tajam, gergaji, kampak, maka bisa jadi karena penjarangan, penebangan oleh Perhutani atau pencurian”.

[14] Untuk membuat rumah memang tidak mungkin bila hanya menggunakan bahan kayu dari tegalan, pasti sebagian harus diambil dari hutan. Masyarakat biasanya mengajak mandor bermain ke rumahnya untuk meminta ijin menebang kayu sambil memberi uang rokok. Uang yang diberikan tidak seberapa kalau dibandingkan harga kayu dipasaran. Jukri memberi mandor Rejo uang rokok sebesar Rp 20.000,00 untuk memotong 2 pohon pinus di daerah Mendongan.

Leave a comment