Dinamika Budaya Masyarakat

Dinamika Budaya Masyarakat

Oleh: Murtijo


Romantisme kehidupan masyarakat desa hutan yang menyiratkan kesan penuh kesederhanaan, keluguan, dan egaliter dengan tipe budaya populer dan budaya folk yang melingkupi dalam perkembangan dapat dijadikan sebagai bahan refleksi (baca: perenungan). Fakta yang berkembang seiring masuknya roh modernisasi dan globalisasi telah menyebabkan terjadinya proses tergerusnya sebagian budaya arif masyarakat desa hutan. Tujuh unsur budaya masyarakat desa hutan yang berlaku secara universal dan merefleksikan identitas bersama sebuah masyarakat telah mengalami kedinamikaan. Identitas bersama masyarakat desa hutan yang selama berabad-abad secara lintas generasi mampu mewujudkan harmonisasi dan integrasi sosial kultural dalam perkembangannya terus mengalami perubahan. Tampaknya, legenda tentang kearifan lokal masyarakat desa hutan kini banyak yang telah hilang dan hanya akan menjelma menjadi sebuah romantisme saja.
Faktor geografis yang semula merupakan salah satu penyebab sulitnya aparatus pemerintah maupun dunia usaha menjangkau masyarakat desa hutan, kini di era modernisasi dan globalisasi bukan lagi menjadi sebuah kendala. Terbukanya akses transportasi dan masuknya media informasi telah membuka pintu keterisolasian masyarakat desa hutan. Globalisasi yang menyebabkan bola dunia semakin mengecil telah mendorong masuknya proses modernisasi dalam budaya masyarakat desa hutan . Intrusi budaya yang berjalan dinamis, lambat laun telah mengikis sebagian nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat desa hutan yang dalam pandangan kaum romantis merupakan benteng stabilitas dan keharmonisan kondisi sosial budaya masyarakat. Akibatnya, spesifikasi romantisme 7 unsur universal budaya masyarakat desa hutan yang menjadi parameter mengalami perubahan .
Sistem mata pencarian masyarakat desa hutan kini telah mengalami beberapa pergeseran. Pertama, dari segi diversitasnya mata pencarian masyarakat tidak hanya bertumpu pada hasil kegiatan bercocok tanam, berburu, meramu dan menangkap ikan. Masyarakat desa hutan memiliki jenis mata pencarian yang heterogen, mulai dari pertanian, peternakan, pedagang, karyawan perusahaan, hingga pegawai pemerintah. Kedua, praktek pertanian berladang berpindah yang masih diterapkan oleh sebagian masyarakat desa hutan –dimana dulu dianggap merupakan praktek pertanian yang paling adaptif dan rasional- kini justru disinyalir tidak lagi adaptif dan rasional terhadap kelestarian ekosistem sumber daya hutan. Ketiga, secara ekonomis pertanian ladang berpindah semakin lama semakin tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang mengusahakannya. Dampaknya, pada akhirnya kini berkembang stereotip negatif sistem pertanian ladang sebagai mata pencarian yang dinilai tidak adaptif (baca: merusak) dan tidak rasional (baca: ekonomis).
Selain itu, hasil pertanian dan peternakan yang dulu berorientasi untuk memenuhi kepentingan subsistensi, dewasa ini tidak lagi semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, melainkan sudah diperjual-belikan secara komersial di pasar. Pasar merupakan tempat menjual hasil pertanian dan membeli kebutuhan masyarakat yang tidak tersedia di lingkungan sekitar hutan. Uang menjadi alat transaksi praktis yang digunakan oleh masyarakat desa hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain mekanisme perdagangan secara barter tidak lagi dapat ditemukan. Bahkan, dalam perkembangannya budaya uang menjadi panglima kehidupan, sebab hampir semua kebutuhan masyarakat desa hutan dapat disubtitusi oleh uang . Mulai dari kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, barang sekunder-tersier, hingga upacara adat . Budaya hedonisme menjalar dalam kebudayaan masyarakat desa hutan. Tujuan utama masyarakat desa hutan bekerja adalah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Realitas ini berdampak terjadinya klasifikasi jenis mata pencarian di masyarakat desa hutan. Adapun kelas paling diminati oleh sebagian masyarakat desa hutan berturut-turut adalah karyawan perusahaan, staf pemerintah, pedagang, peternak, dan petani ladang. Masyarakat memiliki impian untuk memperoleh pekerjaan yang setiap bulan bisa menerima secara rutin penghasilan uang tunai atau cash. Kepemilikan uang tunai dan penumpukan benda materi menjadi salah satu indikator penilaian keberhasilan sebuah keluarga di masyarakat desa hutan. Dampak lebih jauh adalah timbulnya gap budaya (cultural gap) yang sangat besar antara sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat desa hutan dengan sistem sosial, ekonomi dan budaya sebagaimana teraktualisasi dalam pola globalisasi dan modernisasi .
Sistem pengetahuan masyarakat desa hutan saat ini pun mengalami perkembangan. Kini, pengetahuan masyarakat desa hutan tidak hanya sebatas pengetahuan tentang lingkungan sekitar, namun telah bergeser ke dalam lingkup nasional maupun internasional. Intensitas interaksi yang tinggi dengan komunitas luar dan masuknya media informasi telah membuka jendela pengetahuan masyarakat desa hutan. Sumber pengetahuan masyarakat desa hutan tidak hanya terbatas dari tokoh adat, namun bercabang mulai dari tokoh agama, staf pemerintah, karyawan perusahaan, peneliti, maupun informasi dari tayangan media elektronik. Akibatnya sistem pengetahuan masyarakat desa hutan semakin berkembang. Hal ini didukung pula oleh masuknya pendidikan formal di masyarakat desa hutan, meskipun masih sebatas tingkat sekolah dasar. Peletakan kesadaran pendidikan formal di masyarakat desa hutan yang dimulai dari tingkat sekolah dasar ini telah menumbuhkan semangat untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini terbukti dari tidak sedikitnya pemuda yang berasal dari masyarakat desa hutan mengenyam pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi .
Masyarakat desa hutan identik dengan teknologi sederhana yang umumnya bersifat manual sementara masyarakat modern memiliki teknologi mekanis dengan memanfaatkan fosil sebagai sumber energi (baca: bahan bakar minyak atau BBM). Kini, teknologi masyarakat desa hutan telah berubah. Teknologi yang digunakan oleh masyarakat desa hutan untuk meringankan aktivitas kerja saat ini tidak hanya menggunakan alat yang bersifat tradisional, namun sebagian telah dikerjakan memakai tenaga mesin. Alat tersebut digunakan untuk menghemat tenaga dan efisiensi waktu. Penebangan pohon tidak mengandalkan alat-alat manual lagi, melainkan telah memakai gergaji mesin (chain saw) yang terbukti lebih menghemat tenaga dan waktu. Penerangan tidak lagi menggunakan pelita dengan bahan bakar getah damar, tapi sudah memakai penerangan listrik dengan mesin genset berbahan bakar solar. Penangkapan ikan tidak semata-mata menggunakan jala dan jaring, namun berganti dengan obat kimia dan penghantar listrik menggunakan tenaga accu . Mekanisasi telah diterapkan oleh masyarakat desa hutan dalam sistem teknologinya yang diperoleh dari intensitas interaksi yang tinggi dengan komunitas luar.
Masyarakat desa hutan yang semula dikenal dengan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih kuat, saat ini telah mengalami pergeseran. Kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat desa hutan dalam perkembangannya mengalami perubahan, seiring masuknya kaum penyebar agama dan dikenalnya pendidikan agama formal. Masuknya kaum missionaris, zending, maupun ulama di masyarakat desa hutan telah mengikis ajaran animisme dan dinamisme. Masyarakat desa hutan secara formal telah menganut salah satu agama dari 5 agama yang diakui di Indonesia, meskipun secara penuh belum menjalankan syariat ajarannya. Pendidikan formal agama yang diperoleh masyarakat desa hutan dari kurikulum pendidikan sekolah formal dan para ahli agama yang menyebarkan ajaran agamanya, terbukti mampu mengikis secara perlahan kepercayaan animisme dan dinamisme. Tokoh agama dalam struktur sosial masyarakat desa hutan termasuk salah satu tokoh desa yang disegani. Kondisi tersebut tentu berdampak pada berbagai praktek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Misalnya, dalam berladang, semula banyak dilakukan berbagai ritual yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, kini perlahan-lahan mulai bergeser bahkan beberapa diantaranya telah ditinggalkan. Diganti dengan praktek – praktek yang lebih rasional.
Tampuk kepemimpinan organisasi sosial yang ada di masyarakat desa hutan tidak hanya berpangkal pada satu pimpinan (ketua adat), namun telah tersegmentasi ke pimpinan desa. Dalam masyarakat desa hutan terdapat 2 tampuk pimpinan, yaitu kepala adat dan kepala desa. Dualisme kepimpinan ini dimulai, ketika diterapkan secara penuh aturan perundang-undangan tentang pemerintahan desa -UU No 5 tahun 1979- di masyarakat desa hutan . Pemilihan kepala desa tidak berdasarkan pada aspek keturunan, melainkan pilihan secara langsung dari aspirasi masyarakat desa hutan. Sendi demokratisasi yang telah menyusup ke dalam sanubari budaya masyarakat desa hutan berdampak pada meningkatnya kontrol sosial terhadap sistem kelembagaan masyarakat . Otoritas pemerintahan adat lambat laun tergeser oleh demokratisasi pemerintahan desa.
Kesenian yang ada pada masyarakat desa hutan saat ini mengalami dinamika dengan kecenderungan semakin termarginalkannya kesenian lokal. Orientasi budaya yang lebih menyanjung budaya komunitas luar perlahan-lahan membenamkan budaya lokal masyarakat desa hutan. Kesenian masyarakat desa hutan yang bersumber pada inspirasi keindahan lingkungan sekitar dan mengekspresikan sistem tata nilai budaya masyarakat dengan menggunakan alat kesenian tradisional, saat ini jarang terlihat. Kesenian budaya masyarakat desa hutan tergantikan oleh tayangan televisi dan pemutaran lagu-lagu VCD dari media elektronik. Perayaan pesta adat pada awalnya menampilkan lagu daerah dan tarian adat, namun seterusnya dilanjutkan hentakan musik dangdut dari VCD yang menggunakan perangkat alat sound sistem modern. Pemeo yang berkembang, masyarakat desa hutan sudah capek menabuh dan memukul alat musik tradisional. Sebagai gantinya, mereka memilih memutar lagu VCD yang dapat dinikmati secara instan. Disanjung modern pula.
Bahasa daerah yang ada di masyarakat desa hutan hanya digunakan dalam percakapan sesama warga, sedangkan untuk bahasa penghubung dengan komunitas luar menggunakan bahasa persatuan Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia yang diperoleh oleh warga ketika menuntut ilmu di pendidikan formal dipraktekkan pada waktu berhubungan dengan komunitas luar, seperti pada waktu masyarakat desa hutan berinteraksi dengan karyawan perusahaan, pegawai pemerintah, ataupun para peneliti yang tinggal di masyarakat.
Demikianlah, realitas budaya masyarakat desa hutan yang dari hari ke hari terus mengalami dinamika seiring masuknya intrusi budaya yang dibawa oleh arus globalisasi dan modernisasi. Budaya arif masyarakat desa hutan lambat laun tergerus oleh intrusi budaya yang memamerkan prinsip rasionalitas dan efisiensi dengan memboyong mitos budaya komunitas luar sebagai “simbol kemajuan” sekaligus salah satu upaya mencapai peradaban yang tertinggi. Prinsip rasionalitas dan efisiensi telah merambah ke relung budaya masyarakat desa hutan dengan bukti makin lunturnya budaya barter, kesakralan ritual upacara adat, dan ketegasan hukum adat demi menegakkan aturan sesuai keselarasan ekosistem dan harmoni masyarakat. Budaya masyarakat desa hutan mengarah ke tipe budaya tinggi atau high culture dengan mengadopsi pola budaya masyarakat perkotaan, meskipun tipe budaya populer atau popular culture sebagian masih tetap diterapkan. Masyarakat desa hutan berada dalam ambang batas liminal di pusara “paradoks” kebudayaan : antara ada dan tiada. Sebuah ironi yang patut menjadi bahan refleksi kita bersama.

Antropolog &

Mahasiswa MM-CSR Trisakti

Leave a comment