Antropologi Kehutanan

ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Oleh: Murtijo[1]

Kehutanan Indonesia sedang mengalami chaos. Ada empat persoalan akut yang sedang dihadapi oleh hutan dan kehutanan Indonesia, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) marginalisasi masyarakat desa hutan, dan (4) kerusakan ekologi sumber daya hutan. Keempat persoalan tersebut disebabkan oleh kekurangpahaman dari para pengelola sektor kehutanan terhadap sistem tata nilai, norma, dan sitem sosial budaya yang berlaku di masyarakat setempat secara mendalam dan komprehensif. Antropologi merupakan salah satu sub disiplin ilmu sosial yang mempunyai kemampuan pekerjaan tersebut. Karenanya, lahirlah sub disiplin ilmu antropologi terapan bidang kehutanan yang disebut antropologi kehutanan. Antropoogi kehutanan memiliki spesifikasi strategi pendekatan mikro, komparatif, dan holistik serta diperkuat dengan analisa teori fungsionalisme struktural, perubahan sosial, relativisme budaya, serta ekologi budaya yang disesuaikan dengan spesialisasi persoalan kehutanan. Atas dasar itu, menjadi tugas sejarah antropologi kehutanan untuk ikut andil dalam mewujudkan sistem pengelolaan hutan Indonesia yang adil, lestari dan berkelanjutan.

Demikianlah kupasan buku bertajuk “Antroplogi Kehutanan” yang terdiri dari 5 bab dengan total xxiv + 189 halaman ini. Sebuah buku yang menggelitik peran Antropolog Indonesia, seiring tergesernya antropologi konvensional yang lebih menilai tinggi prinsip “ilmu untuk ilmu” ke sub disiplin ilmu antropologi yang lebih mengedepankan aspek “terapan”. Masyarakat makin menuntut amal bakti nyata para antrooplog untuk ikut andil menyelesaikan persoalan bangsa. Antropologi kehutanan merupakan salah satu karya dalam upaya beramal bakti guna memecahkan satu persoalan bangsa, yaitu carut-marutnya sistem pengelolaan hutan di Indonesia.

1. SEJARAH ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Kelahiran antropologi diawali oleh rasa ketertarikan bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa pribumi yang tinggal di luar lingkungan daerah kebudayaannya. Antropologi dalam perkembangan tahap akhir keilmuan mempunyai dua tujuan utama, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis[2]. Antropologi kehutanan lahir dari perkembangan ilmu yang bersifat praktik atau terapan dengan tujuan memberikan sumbang sih pemikiran guna mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Sejarah pengelolaan hutan yang ada di Indonesia selama estafet rezim pemerintahan menghasilkan sistem kelola eksploitatif yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Secara garis besar konflik kehutanan disebabkan oleh 4 persoalan pokok, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) marginalisasi masyarakat desa hutan, dan (4) kerusakan ekologi sumber daya hutan. Memahami persoalan sektor kehutanan, maka dalam perspektif antropologi terapan dapat dimaknai bahwa persoalan kehutanan telah merambah ke dalam 4 aspek sosial, yaitu aspek hukum, politik, ekonomi pembangunan, dan ekologi sosial[3].

2. METODE DAN

PENDEKATAN ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Antropologi kehutanan merupakan ilmu yang mempelajari sistem budaya masyarakat secara menyeluruh dalam kaitan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di setiap masyarakat mempunyai ciri khas tersendiri (local spesific) sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat[4]. Pembelajaran suatu sistem budaya masyarakat dapat dilakukan melalui metode penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara[5] dan observasi partisipasi[6].

Hasil kumpulan data kualitatif kemudian ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah yang disebut etnografi. Etnografi dalam antropologi kehutanan merupakan gambaran faktual sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang dipraktekkan oleh masyarakat dalam konfigurasi sistem budaya. Etnografi kehutanan berusaha memberi gambaran sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara menyeluruh dan lengkap. Hal ini disebabkan antropologi kehutanan menggunakan strategi pendekatan holistik[7] melalui pendekatan studi mikro dan komparatif.

Untuk mendapatkan suatu analisa yang tajam dalam deskripsi pola pemanfaatan sumber daya hutan suatu komunitas atau masyarakat, maka dalam antropologi kehutanan dikenal 4 teori analisa dasar[8]. Adapun keempat teori analisa dasar tersebut, adalah (1) analisa teori fungsionalisme struktural, (2) perubahan sosial, (3) relativitas budaya, dan (4) ekologi manusia. Keempat teori antropologi tersebut dianggap paling relevan untuk memahami persoalan kehutanan dan gejala budaya yang ada di masyarakat.

3. ANTROPOLOGI

DAN EKSISTENSI MASYARAKAT DESA HUTAN

Masyarakat desa hutan di Indonesia sebagian besar tinggal terpencar di pulau-pulau luar Jawa yang terletak di hulu-hulu sungai pedalaman dan di tengah rimba belantara[9]. Masyarakat desa hutan berdasar pada penggolongan tipe sosio-kultural termasuk dalam golongan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal di daerah-daerah pedalaman. Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri spesifikasi dengan tingkat homogenitas yang tinggi serta terikat dengan ekosistem lingkungan. Hutan merupakan satu kesatuan budaya yang dijadikan sebagai tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya.

Keterkaitan erat antara masyarakat desa hutan dengan lingkungan sumber daya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Budaya masyarakat desa hutan mengalami benturan dengan bermacam paradoks kebijakan dan intrusi budaya yang mengancam lunturnya nilai-nilai kearifan masyarakat. Dalam konteks masyarakat desa hutan terdapat dua kebijakan pemerintah yang berdampak secara signifikan terhadap dinamika masyarakat desa hutan, yakni UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan[10] dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa[11]. Sementara dalam konteks intrusi budaya dibedakan menjadi dua, yaitu intrusi budaya langsung dan tidak langsung[12]. Saat ini, dinamika budaya di masyarakat desa hutan terus berlangsung seiring gelombang globalisasi dan modernisasi. Dinamika kehutanan yang terus berlangsung hendaknya menjadi perhatian para pihak (antropologi kehutanan) untuk mengeksistensikan masyarakat desa hutan. Ada dua hal yang dapat dicobaterapkan untuk mempertahankan eksistensi masyarakat desa hutan, yaitu penguatan identitas[13] dan sikap tanggap budaya[14].

4. PENERAPAN ANTROPOLOGI

DALAM PERSPEKTIF KEHUTANAN

4.1. Antropologi Hukum: Pluralisme Hukum dan Konflik Tenurial

Pluralisme hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dipahami secara komprehensif oleh para pengambil kebijakan bidang kehutanan. Hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan diberlakukan secara seragam –baca: sama- dengan mengabaikan aspek keragaman budaya dan spesifikasi jenis hutan. Akibatnya, munculah konsep unifikasi hukum untuk mengatur masyarakat desa hutan dan penyeragaman sistem kelola hutan. Realita ini berdampak pada konflik tenurial antara masyarakat desa hutan dengan pemerintah ataupun perusahaan pemegang konsesi hutan. Dampak lebih lanjut dari penyeragaman sistem hukum di masyarakat desa hutan adalah terjadinya dualisme hukum antara hukum formal dan hukum adat. Dualisme hukum memancing terjadinya konflik horisontal maupun vertikal di masyarakat desa hutan. Konflik yang berkembang paling efektif diminimalisir apabila dilakukan pendekatan antropologi hukum yang mengedepankan pada aspek budaya.

4.2. Antropologi Politik : Otonomi Manajemen Hutan Lestari

Politik sentralisasi kehutanan yang mengedepankan aspek penyeragaman program dan kebijakan top down telah berdampak pada kekurang berhasilan pengelolaan sumber daya hutan. Kondisi ini mencapai puncaknya pada masa reformasi yang mengedepankan pada konsep desentralisasi kehutanan untuk mengoptimalkan peran daerah dan memutus bingkai birokrasi. Kenyataannya, dalam realita lapangan terjadi euforia reformasi yang memutarbalikan konsep desentralisasi untuk kepentingan pribadi. Karenanya, justru desentralisasi berdampak pada carut marutnya sektor kehutanan. Meskipun, menjadi suatu keniscayaan penerapan desentralisasi untuk menyelamatkan sektor kehutanan. Persoalannya adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia guna mengawal otonomi manajemen hutan lestari. Antropologi politik merupakan media paling efektif untuk mengawal penerapan otonomi manajemen hutan lestari yang berbasis pada manajemen hutan berbasis masyarakat (community based forest management).

4.3. Antropologi Pembangunan: Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan

Kemiskinan masyarakat desa hutan yang mencapai 10,2 juta jiwa merupakan persoalan utama dalam sistem pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Buih pembangunan sektor kehutanan baru dinikmati oleh segelintir orang yang terpusat di elit birokrat dan pemilik kapital. Konsep pemerataan buih pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, justru masyarakat desa dari hari ke hari semakin mengalami marginalisasi. Masyarakat desa hutan mengalami ketertinggalan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, dan ketersediaan fasilitas umum lainnya. Intinya, masyarakat desa hutan justru terus terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Memahami persoalan tersebut menjadi tugas besar bagi bangsa Indonesia, khususnya para antropolog pembangunan dan ekonomi untuk menyelamatkan masyarakat desa hutan. Ada 3 kiat dari antropologi pembangunan yang dapat diterapkan guna pembangunan masyarakat desa hutan, yaitu penguatan institusi lokal, pengedepanan demokratisasi, serta pemberdayaan masyarakat.

4.4. Antropologi Ekologi: Pengelolaan Hutan Lestari

Pengedepanan aspek ekonomi oleh para pelaku sektor kehutanan telah berdampak pada rusaknya sistem ekologi hutan. Hutan dalam perspektif budaya masyarakat desa hutan merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Sistem pengelolaan hutan sebaiknya berakar pada pluralitas budaya masyarakat dengan mengedepankan kebhinekaan program pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik budaya dan lingkungan setempat. Pendekatan antropologi ekologi yang mendasarkan pada studi mikro dengan kajian komparatif dan holistik sangat membantu terwujudnya program pembangunan yang benar-benar berakar dari sistem budaya dan ekologi masyarakat yang bersifat lokal spesifik. Pemahaman sistem ekologi budaya masyarakat desa hutan secara mendalam akan berujung terwujudnya sistem pengelolaan hutan lestari yang berkeadilan serta berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

5. TUGAS SEJARAH ANTROPOLOGI KEHUTANAN

DALAM MEWUJUDKAN KELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN

Demikianlah, antropologi kehutanan sebagai sebuah sub ilmu antropologi dengan usia yang relatif masih sangat muda melalui berbagai dialektikanya telah memberi kontribusi positif bagi terwujudnya pengelolaan hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Karena itu, diundang sumbang sih para antropolog dan pelaku kehutanan lainnya untuk mendarmabaktikan ilmu dan pengetahuannya guna menciptakan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan kelestarian hutan Indonesia. Bravo antropologi kehutanan Indonesia.


[1] Staf Lembaga Riset dan Kajian Bidang Kehutanan dan Lingkungan, Wana Aksara.

[2] Tujuan akademis ilmu antropologi adalah mencapai pengertian umum (general) tentang makhluk manusia dengan cara mempelajari secara menyeluruh berbagai bentuk fisik manusia, sistem masyarakat, dan kebudayaan manusia. Sedangkan tujuan praktis antropologi adalah mempelajari kebudayaan manusia dalam beragam totalitas masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa yang maju sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

[3] Sementara dari masing-masing aspek telah dikupas dalam spesialisasi antropologi terapan, yaitu antropologi hukum, antropologi ekonomi, antroplologi pembangunan, maupun antroplogi ekologi. Karena itu, Antropologi kehutanan merupakan gabungan dari 5 spesialisasi ilmu antroplogi terapan di atas.

[4] Karakteristik budaya masyarakat menentukan pola pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, sebab budaya suatu masyarakat berakar pada karakteristik lingkungan yang ada di sekitarnya. Untuk memahami karakteristik suatu budaya masyarakat, maka diperlukan upaya pembelajaran sistem budaya masyarakat yang meliputi aspek gagasan, perilaku, dan hasil karya dari budaya suatu masyarakat.

[5] Terdapat 3 bentuk teknik wawancara yang biasa digunakan dalam penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu (1) wawancara bebas (open interview), (2) wawancara mendalam (depth interview), dan (3) wawancara berencana (standarized interview).

[6] Teknik pengamatan dalam penelitaian sosial budaya dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu (1) teknik pengamatan terlibat (partisipant observation)[6], dan (2) teknik pengamatan biasa.

[7] Koentjaraningrat (1996:85) mendefinisikan metode holistik sebagai suatu usaha untuk melihat segala sesuatu dalam hubungan yang seluas-luasnya dalam kerangka untuk melihat dan memahami saling hubungan dan saling ketergantungan. Istilah holistik digunakan untuk menggambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap suatu kebudayaan sebagai kesatuan yang integral. Metodologi holistik dikembangkan oleh ilmu antropologi, ketika penelitiannya masih dalam fase komunitas kecil di pedesaan. Penelitian tersebut memerlukan waktu yang relatif lama, rata-rata sekitar satu tahun

[8] Dalam antropologi sangatlah banyak teori ilmu yang dapat dipakai sebagai pisau analisa kasus, namun dalam studi antropologi kehutanan dipilih 4 teori analisa dasar dengan pertimbangan tingkat relevansi persoalan yang ada di sektor kehutanan. Adapun keempat teori tersebut adalah teori fungsionalisme struktural, perubahan sosial, relativitas budaya, dan ekologi manusia.

[9] Antropolog wanita bernama Hildred Geertz menggolongkan masyarakat yang ada di Indonesia dalam 3 tipe sosio-kultural, yaitu (1) tipe masyarakat yang mengembangkan kehidupan pertanian sawah di daerah pedalaman, (2) tipe masyarakat pantai yang memiliki orientasi perdagangan, dan (3) tipe masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal di daerah-daerah pedalaman.

[10] Operasionalisasi undang-undang tersebut di lapangan berdampak secara nyata pada dinamika sosial budaya masyarakat desa hutan, yaitu terjadinya perubahan sistem mata pencarian, kemudahan aksesibilitas, keterbukaan isolasi wilayah, peningkatan pendapatan, dan perubahan ekosistem lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di masyarakat desa hutan seiring masuknya perusahaan konsesi pengusahaan hutan yang merupakan implikasi dari penerapan peraturan perundang-undangan tentang Pokok-Pokok Kehutanan.

[11] Digulirkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ditujukan untuk menciptakan keseragaman (uniformitas) sistem pemerintahan yang ada di seluruh Indonesia. Upaya penyeragaman merupakan satu diantara paket politik sistem pemerintahan Orde Baru, disamping pendekatan terpusat (sentralistik) dan militerisme. Pemaksaan sistem pemerintahan yang cenderung bias Jawa di seluruh masyarakat Indonesia yang multietnis berakibat terjadinya ketimpangan dan tumpang tindih struktur pemerintahan desa dan adat

[12] Intrusi budaya langsung adalah budaya luar bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat (face to face), seperti masuknya kaum missionaris Roma, zending Belanda, pedagang Banjar, dan para karyawan perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan. Sedangkan intrusi budaya yang tidak langsung ialah pengadopsian budaya yang diperoleh dari media informasi, seperti radio, televisi, dan surat kabar.

[13] Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan.

[14] Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistem tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan. Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat.

Leave a comment