Hutan Jarahan Banyak Orang

HUTAN JARAHAN BANYAK ORANG:

POTRET KELOLA HUTAN PETUNGKRIYONO

Oleh : Murtijo [1]


Hutan Petungkriyono yang membentang di kaki bukit Pegunungan Slamet termasuk dalam kesatuan pemangkuan hutan (KPH) Pekalongan Timur. Sebagian besar wilayah Petungkriyono berupa hutan, perbukitan luas berselimut rumput dan tegalan sempit. Wilayah Petungkriyono terbagi menjadi 9 desa[2], mulai dari wilayah paling atas pada ketinggian 1.634 meter hingga 500 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Petungkriyono dikuasai oleh Perhutani, sementara masyarakat hanya mempunyai lahan pertanian yang sempit[3]. Kondisi tersebut berdampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang memaksa masyarakat untuk mencari pekerjaan serabutan selain bertani, termasuk menjarah lahan dan mencuri kayu di hutan negara. Hamparan hutan yang ada di depan mata masyarakat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tekanan sosial ini berakibat terjadinya kerusakan hutan. Hutan dijadikan sebagai ladang jarahan banyak orang. Para pihak terlibat dalam praktek perusakan hutan negara, baik masyarakat maupun oknum aparat kehutanan.

Rusaknya Hutan

Berdasar status kepemilikannya hutan di Petungkriyono dibedakan menjadi 2, yaitu hutan rakyat dan hutan negara. Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah milik masyarakat dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi tanaman perkayuan dengan jumlah tahun pertama minimal 500 batang[4]. Sementara hutan negara memiliki pemahaman sebagai hutan yang tumbuh di atas tanah milik negara yang pengelolaannya untuk di Jawa diserahkan kepada Perhutani. Perhutani membagi hutan negara di Petungkriyono menjadi 3 jenis, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan perketekan[5].

Berkurangnya kayu pinus di hutan produksi, langkanya kayu besar di hutan lindung, dan banjir di kota Pekalongan pada bulan Februari 2002, membuktikan bahwa hutan negara di Petungkriyono mengalami kerusakan. Hutan negara diperebutkan oleh pemerintah daerah, Perhutani, dan masyarakat. Pemerintah kabupaten berpegang pada UU No 22/1999 tentang otonomi daerah, mempunyai wewenang ikut mengurusi, mengelola segala aset ekonomi di daerah termasuk hutan[6]. Keadaan ini membuat pemerintah Kabupaten Pekalongan ingin dilibatkan dalam pengelolaan hutan bersama Perhutani sebagai perusahaan yang beroperasi di daerahnya[7].

Perhutani sebagai perusahaan negara yang secara hukum berkuasa atas hutan keberatan melepaskan haknya. Hutan adalah milik negara, siapa yang berani melanggar aturan akan mendapat sanksi. Pendekatan keamanan untuk menjaga kelestarian hutan lebih diutamakan, meskipun mulai tahun 2001 telah digulirkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Meskipun, dalam implementasi belum berjalan optimal. Terbukti, PHBM masih belum mengakar dan terkesan hanya sebagai lip service saja. Dominasi pengelolaan hutan masih dipegang oleh Perhutani.

Lain hal dengan masyarakat Petungkriyono yang merasa sama-sama warga negara Republik Indonesia, tetapi tidak diperhatikan kesejahteraannya. Bahkan, menganggap haknya atas hutan telah dirampas oleh negara. Masyarakat Petungkriyono merasa bahwa hutan adalah miliknya, terbukti dengan adanya nama-nama daerah di dalam hutan negara, seperti Nyarman, Ngangga, Bodha, Kliweran, dan lain-lain[8]. Perhutani sebagai penguasa hutan baru datang sekitar 40 tahun yang lalu, sehingga sebenarnya masyarakatlah yang lebih mempunyai hak atas hutan ini, tungkas tokoh masyarakat Petungkriyono.

Sama-sama berkepentingan dan merasa berhak atas hutan negara membuat mereka saling berebut untuk mengambil manfaat dari hutan negara. Manfaat hutan negara yang dijarah dan diperebutkan antara lain; hutan primer, hutan perketekan, kayu pinus, rumput, dan lahan. Hutan primer disadari oleh semua pihak bermanfaat untuk penahan maupun sumber air yang berguna untuk irigasi pertanian dan penahan banjir bagi masyarakat kota Pekalongan. Kesadaran itu ternyata hanya sebatas lisan saja, sebab dalam kenyataannya masyarakat, mandor hutan, dan pegawai pemerintah kecamatan malah merusak hutan primer untuk keuntungan pribadi. Bukti tersebut dapat dilihat pada tahun 1998 ketika program pemerataan jaringan listrik yang dilaksanakan oleh CV. Dian Putra Banjarnegara melewati Gumelem melalui Selirang. Peraturan mengharuskan penebangan bagi pohon-pohon yang berjarak 3 meter dari kabel jaringan, tetapi pada kenyataan pohon-pohon yang berjarak lebih dari 18 meter juga ikut ditebang. Bekas penebangan kayu tersebut terlihat di hutan lindung sebelah barat Gumelem yang sekarang tinggal ditumbuhi semak-semak dan kaliandra.

Bukti lain adalah sering dijumpainya kusen, blandar, dan usuk di rumah penduduk yang berasal dari jenis kayu yang hanya tumbuh di hutan lindung. Demikian pula dengan kayu rimba yang telah disulap menjadi mebel-mebel di kota besar. Masyarakat memilih mengambil kayu di hutan primer, sebab resiko ketahuan mandor hutan lebih kecil dan jenis kayu di hutan primer untuk bahan bangunan lebih bagus dibandingkan kayu tegalan atau kayu pinus yang mengelilingi kampung mereka. Mandor hutan mengambil kayu di hutan primer, sebab harga kayu dari hutan primer lebih mahal dibandingkan harga kayu pinus. Masyarakat dan mandor hutan berlomba mencuri kayu hutan dan takut kalau sampai tidak kebagian. Mereka menggunakan waktu luang untuk mengambil kayu di hutan primer, meskipun kayu tersebut tidak langsung digunakan, melainkan untuk persiapan sewaktu-waktu membangun rumah atau disimpan jika ada tetangga yang membutuhkan.

Kayu di hutan perketekan merupakan barang yang diperebutkan oleh masyarakat. Siapa saja yang mengambil terlebih dahulu, dia yang memiliki. Masyarakat boleh mengambil manfaat kayu di hutan perketekan menurut kemampuannya. Hutan perketekan dahulu dipersiapkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan kayu bangunan, tetapi sekarang hanya sebatas untuk kayu bakar sebab kayu besar sudah tidak ada. Habisnya kayu besar ini disebabkan masyarakat berlomba mengambil kayu di hutan perketekan, sehingga saat ini kayu besar menjadi pemandangan yang langka.

Kayu pinus di hutan negara merupakan barang yang dijadikan sumber jarahan dan korupsi. Pohon pinus ditanam sebagai sumber devisa bagi negara dan juga membantu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tujuan yang mulia dari negara tersebut pada prakteknya tidak dilaksanakan benar-benar, bahkan banyak orang mengambil manfaat kayu pinus untuk keuntungan pribadi. Masyarakat Petungkriyono yang sebagian besar belum mengenal kompor minyak dan gas selalu membutuhkan kayu bakar. Kayu bakar yang digunakan kebanyakan berupa kayu pinus, sebab mudah terbakar. Kayu pinus sekarang ini selain sebagai kayu bakar juga digunakan untuk kayu bangunan, sebab ternyata kayu pinus tahan lama dan tidak dimakan rayap.

Langkanya kayu rimba di hutan Petungkriyono dan naiknya harga kayu pada pertengahan tahun 1990 akibat permintaan pasar yang meningkat dimanfaatkan oleh sebagian mandor hutan dengan menjadikan kayu pinus sebagai sumber korupsi. Mandor hutan mencuri kayu pinus bekerja sama dengan masyarakat. Masyarakat mendapat upah dari jasa menebang dan menaikkan kayu ke truk, sedang mandor hutan mendapat uang dari penjualan kayu yang disetor ke penggergajian.

Rumput gajah yang merupakan makanan ternak lembu dan kambing di Petungkriyono menjadi sumber rebutan antar masyarakat dan sumber negosiasi yang alot dengan pihak Perhutani. Sebelum tahun 80an masyarakat memberi makan ternak dari rumput kebun, tetapi pada tahun 1985 ketika muncul lembu potong kebutuhan rumput tidak terpenuhi sehingga masyarakat terpaksa mencari rumput ke hutan negara. Usaha ternak ternyata cukup menjanjikan, maka kemudian masyarakat menanam rumput gajah di kebun. Penanaman rumput di kebun sendiri ternyata tidak mencukupi kebutuhan ternak yang terus bertambah, sehingga pada tahun 90an masyarakat diperbolehkan menanam rumput di hutan negara pinusan[9].

Banyaknya kebutuhan rumput gajah ini memicu terjadinya pencurian rumput gajah. Suatu waktu seorang perempuan menangis histeris di jalanan Kampung Dranan gara-gara rumputnya di hutan sudah diambil orang[10]. Pencurian rumput tetap terjadi, meskipun tiap orang sudah mempunyai bagian kaplingan sendiri. Pengaplingan lahan dilakukan pada tahun 1990, seiring dikeluarkannya program hutan sosial yang bertujuan menggalang kerjasama dengan masyarakat. Perhutanan sosial (social forestry) merupakan program Perhutani sebagai bentuk tanggapan gemboran suara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tentang kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang menggaung ketika bergulirnya era reformasi[11].

Lahan di hutan negara merupakan incaran banyak orang agar bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Sedang lahan yang dimiliki petani merupakan modal pokok petani untuk memperoleh penghasilan. Sempitnya lahan yang dimiliki masyarakat (rata-rata kurang dari ½ ha) menjadi masalah pokok petani untuk menjadikan dirinya petani yang sejahtera. Kekurangan lahan ini oleh petani disiasati dengan menanam tanaman seperti kopi di hutan negara. Penanaman kopi di bawah pohon pinus atau di hutan lindung menjadi pemandangan yang biasa di daerah Totogan, Sipetung, Karanggondang, Sawangan, Wanadadi, Songgowedi, dan sebagian daerah Kliweran. Masyarakat yang menanam kopi di hutan negara tiap tahun diwajibkan memberi pajak pada mandor yang mengawasi daerah tersebut. Setiap dusun dibebankan 50 kg kopi kering, yang pengumpulannya dikoordinir oleh kepala dusun. Banyak sedikitnya beban pajak kopi tiap petani disesuaikan dengan luas tanaman kopi[12]. Bentuk kerjasama saling menguntungkan “tahu sama tahu” antara masyarakat dan mandor merupakan bukti kurangnya pendapatan petani dan mandor serta lemahnya penegakan hukum yang menganggap hutan sebagai wilayah tak “bertuan”.

Anggapan hutan negara sebagai wilayah tak bertuan dan sumber jarahan banyak orang tidak terlepas dari faktor manfaat ekonomi dan ketidakjelasan status kepemilikan hutan. Kenyataan ini membuat rusaknya hutan di Petungkriyono. Rusaknya hutan merupakan pemandangan yang mudah ditemui. Dari gardu terpampang luas panorama pegunungan dan hamparan pemukiman. Gunung Beser di sebelah barat Mudal miskin tumbuhan dan kayu hutan, sehingga yang tampak hanyalah bekas tonggak kayu pinus yang hangus terbakar[13]. Gunung Beser dulu mempunyai sumber mata air yang berlimpah, ketika hutan rimba masih ada. Akan tetapi, setelah diganti pohon pinus sumber air Gunung Beser menjadi kering. Keadaan ini, karena pohon pinus mempunyai sifat mengeringkan mata air. Hijaunya daun sepanjang tahun dan tumbuhnya lumut di sekitar pohon pinus merupakan bukti banyaknya penyerapan air oleh pohon pinus. Pohon pinus kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan, tidak ada waktu menggugurkan daun untuk mengurangi penguapan. Daun paku pinus sulit diuraikan, sehingga membuat kesuburan tanah berkurang. Air di Dusun Dranan akan kering apabila dalam sepuluh hari berturut-turut tidak ada hujan. Air menjadi langka dan sungai kering di musim kemarau.

Selain perubahan sistem monokultur tanaman pinus di hutan Petungkriyono sebagai penyebab langkanya air di Petungkriyo, meningkatnya intensitas pertanian juga berpengaruh terhadap daya serap air. Sebelum ditemukannya varietas unggul (1985), orang menanam padi setahun satu kali, tapi sekarang bisa tiga kali. Dahulu ada saat tanah diistirahatkan untuk mengembalikan kesuburannya, tetapi sekarang tanah ditanami sepanjang tahun. Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya intensitas pertanian mengakibatkan air menjadi langka (Sarief, 1985:3-6; Fauzi, 1999:166, Bachriadi dan Anton, 2001:19, Purwanto dan Warsito, 2001:57). Orang sekarang berebut air untuk mengairi lahan. Kelangkaan air di musim kemarau menunjukkan hutan di Petungkriyono mengalami kerusakan, sebagai akibat hutan negara dianggap dan diperlakukan sebagai sumber daya milik bersama.

Pemerintah sejak dahulu memperlakukan hutan sebagai sumber daya “milik bersama”. Pemerintah memperlakukan hutan semena-mena, hutan dieksploitasi semaksimal mungkin sampai rusak. Rakyat dikorbankan untuk memperbaiki kerusakan hutan tersebut. Penciptaan hutan sebagai milik bersama oleh pemerintah membuat masyarakat juga memperlakukan hutan semena-mena. Rakyat akan mengambil kayu hutan untuk kepentingan pribadi, jika membutuhkan dan waktu memungkinkan. Kondisi ini membuat hutan menjadi rebutan dan terus mengalami kerusakan.

Hutan Jarahan Banyak Orang

Menurut peraturan mandor hutan berkewajiban menjaga dan mengelola hutan. Hutan dijaga dari keserakahan manusia, khususnya masyarakat sekitar hutan. Sedang pengelolaan hutan ditujukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan Perhutani. Masyarakat sekeliling hutan tidak boleh mengambil manfaat ekonomi dari hutan, sebab hutan dikuasai Perhutani dan hanya Perhutani yang bisa mengambil manfaatnya. Perhutani mempunyai staf mandor dan polisi hutan yang berwenang menangkap orang yang terbukti merusak atau mengambil manfaat ekonomi dari hutan pemerintah (Dephut, 1986:75-77).

Posisi mandor hutan dan masyarakat yang harusnya ‘tegang’ dan ‘disiplin’ pada kenyataannya berbeda. Mereka malah bekerja sama ‘tahu sama tahu’, karena sama-sama butuh dan sama-sama “wong deso”, (orang desa, tetangganya). Mandor hutan di Petungkriyono membutuhkan masyarakat untuk menyadap getah pinus demi tercapainya target dan agar mereka tidak dipecat, sedang masyarakat butuh tambahan penghasilan. Masyarakat Petungkriyono sebagai masyarakat desa selalu butuh kayu untuk bahan bakar dan pertukangan. Sedang mandor hutan butuh penghasilan tambahan, sebab gajinya belum mampu menyejahterakan mereka. Hal ini membuat mereka lebih terbuka dalam bekerja sama untuk bisa merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari hutan negara. Mandor hutan akan membiarkan masyarakat jika mau mengambil kayu hutan dan masyarakat akan membantu mandor jika mau menggerogoti kekayaan hutan negara. Mereka bekerja sama “tahu sama tahu” memanfaatkan hutan negara untuk dijarah demi memperkaya diri.

“Tahu sama tahu” ini membuat kedekatan hubungan antara mandor hutan dengan masyarakat dan mereka saling mengetahui kekurangan masing-masing. Mandor mengetahui kalau masyarakat mencuri kayu hutan dan dia juga sadar kalau dirinya juga menguras kayu hutan. Begitu juga masyarakat, mereka mengetahui kalau mandor adalah pagar makan tanaman dan dia sadar bahwa dirinya tidak bisa hidup jika tidak mencuri kayu hutan. Kenyataan tersebut mendorong mandor hutan membiarkan masyarakat mengambil kayu di hutan dan masyarakat membiarkan mandor hutan mengambil kayu secara tidak sah. Hutan dalam kenyataannya diperlakukan sebagai milik bersama, masyarakat dan mandor hutan dapat mengambil sesuai kebutuhan selama hutan masih ada. Keduanya sama-sama diam dan tutup mata atas rusaknya hutan.

Masyarakat memperlakukan hutan sebagai sumber daya milik bersama. Hutan dalam gagasan masyarakat dianggap tidak ada pemiliknya, sehingga masyarakat memperlakukan hutan sesuka hati dan bertindak untuk keuntungan diri sendiri. Masyarakat mengambil kayu hutan seoptimal mungkin takut tidak kebagian, siapa yang lebih dahulu mengambil berarti yang memiliki. Aturan kewenangan Perhutani dianggap tidak ada, sehingga masyarakat tidak takut dengan mandor hutan. Bahkan keduanya bekerja sama ‘tahu sama tahu’ untuk menguras kayu hutan. Munculnya budaya tahu sama tahu ini dikarenakan hutan oleh masyarakat maupun mandor hutan diperlakukan sebagai sumber daya milik bersama.

Pengurasan sumberdaya hutan juga dilakukan oleh mandor sebagai penjaga hutan, pagar makan tanaman. Pengambilan kayu hutan tidak resmi yang dilakukan mandor hutan sudah menjadi rahasia umum, sehingga apabila warga butuh kayu tegakan pinus maka mereka tidak malu-malu untuk meminta langsung kepada mandor hutan, meskipun harus memberi uang rokok[14]. Kasus penyuapan dan pencurian yang melibatkan mandor-mandor tanpa sepengetahuan mantri merupakan usaha memperkaya diri mandor dan aktualisasi dari wacana ketidakadilan. Mandor ingin mengejar ketertinggalan tingkat ekonomi dengan mantri. Mandor dengan mantri memang kalah dalam jumlah gaji, tetapi diuntungkan oleh posisinya yang berada di tengah-tengah antara mantri dan masyarakat. Mandor memanfaatkan masyarakat untuk keuntungan pribadinya dengan melakukan pencurian kayu hutan dan menerima suap.

Mandor hutan memperlakukan hutan sebagai sumber daya milik bersama. Hutan dianggap sebagai wilayah tidak bertuan yang dapat dimiliki. Mereka berlomba mencuri kayu hutan. Mandor hutan mengejar keuntungan pribadi secara berlebihan, takut tidak kebagian. Mereka yang mengambil terlebih dahulu berarti akan mendapat bagian. Kayu hutan menjadi barang rebutan antara mandor dan atasannya. Aturan perundangan pengelolaan dan perlindungan hutan dianggap tidak ada, sehingga petugas sering melanggar aturan yang telah dibuatnya, mereka tak-ubahnya seperti pagar makan tanaman.

Catatan Akhir

Kerusakan hutan di Petungkriyono sudah menjadi rahasia umum. Hutan dianggap sebagai sumberdaya milik bersama yang bisa dijarah oleh siapa saja. Siapa yang cepat akan mendapat. Budaya “tahu sama tahu” antara masyarakat dengan petugas kehutanan diperparah dengan perilaku “pagar makan tanaman” yang dipraktekan oleh oknum petugas hutan. Akibatnya, hutan mengalami deforestasi yang berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang mengancam keselamatan umat manusia di sekitar hutan petungkriyono. Ancaman kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan merupakan bukti rusaknya hutan di Petungkriyono. Ketidaksejahteraan, ketidakjelasan kepemilikan hutan dan rendahnya penegakan hukum menjadi pendukung tumbuh suburnya praktek perusakan hutan di Petungkriyono. Cepat atau lambat lingkungan akan membalas keserakahan manusia tersebut. Kapan waktunya, hanya alam yang tahu.


[1] Sarjana Antropologi lulusan Universitas Gadjah Mada.

[2] Kesembilan desa tersebut ialah Simego, Gumelem, Tlogohendro, Sanggadadi, Curugmuncar, Yosorejo, Tlogopakis, Kasimpar, dan Kayupuring.

[3] Jumlah penduduk Desa Yosorejo pada bulan Januari 2001 tercatat 1.480 jiwa terbagi dalam 444 KK. Luas lahan sawah dan tegalan di desa tersebut 210 hektar, sehingga rata-rata tiap KK hanya mempunyai tanah kurang dari 1/2 hektar[3] (Monografi Kecamatan Petungkriyono, 1999-2000). Salah satu contoh kasar adalah Jukri yang mempunyai tegalan ukuran 25 X 25 meter, rumah 8 X 15 meter dengan pajak satu tahun sebesar Rp. 4.000,00.

[4] Hutan rakyat di Petungkriyono pada bulan September tahun 2001 seluas 600 ha dengan potensi tegakan yang tersedia 19.200 meter kubik (Dishutbun Pekalongan, 2001). Jenis tanamannya antara lain: cengkeh, sengon, nangka, dan suren. Tanaman hutan rakyat ini secara resmi berada di bawah binaan Dishutbun (Dinas Hutan dan Perkebunan) Pekalongan. Hutan rakyat yang tumbuh di atas tanah milik rakyat mutlak menjadi milik pribadi, sehingga orang akan menghormati bahkan akan ikut menjaga jika ada orang lain yang akan merusak. Hutan rakyat bukan menjadi barang jarahan, sebab mempunyai kejelasan status kepemilikan, yakni milik penduduk.

[5] Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai cadangan air, keseimbangan iklim, pengantisipasi hilangnya lapisan tanah, serta untuk keindahan dan sumber penelitian. Hutan produksi diharapkan mampu menghasilkan keuntungan sebagai sumber devisa negara. Sedang, hutan perketekan merupakan hutan yang difungsikan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan kayu bangunan masyarakat.

[6] Semangat otonomi daerah telah memberi peluang bagi munculnya kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang bertumpu pada penggalian sebesar-besarnya pendapatan asli daerah setempat, sehingga dapat membahayakan segi-segi kelestarian dan konservasi sumber daya hutan.

[7] Ini terlihat dari usul lurah Yosorejo dalam pertemuan semiloka di Kajen, Pekalongan tentang retribusi Perhutani ke desa.

[8] Pemberian nama blok didasarkan tetenger, biar mudah diingat dan menandakan kepemilikan. Seperti blok Nyarman, berarti dulu milik Sarman; Ngangga, dulu Sangga pernah disitu; Bodha, dulu ada seorang Budha tinggal di blok tersebut; Kliweran, dulu dihubungkan dengan mithos Baroklinting yang berubah wujud menjadi ular dan kliwarkliwer di daerah tersebut, sehingga kampung di daerah tersebut dinamai Kliweran.

[9] Seekor lembu besar menghabiskan satu setengah keranjang rumput dalam sehari. Satu keranjang rumput didapat dari luas lahan 6 meter persegi. Rata-rata setiap keluarga mempunyai 3 lembu, sedang jumlah kepala keluarga (KK) di Yosorejo ada 444 KK. Dengan asumsi tersebut, maka setiap harinya kebutuhan rumput gajah Desa Yosorejo mencapai 2.098 keranjang, yang diambil dari lahan sekitar 1, 25 ha.

[10] Menangis atau mencakmencak di muka umum adalah sarana protes di Petungkriyono. Dengan cara ini masalah pribadi diangkat ke muka publik sehingga semua orang jadi tahu dan orang yang bersalah terdorong untuk melakukan perbaikan atau tidak mengulangi lagi kesalahannya.

[11] Penanaman rumput gajah dibebaskan oleh Perhutani, asal tidak di hutan lindung. Untuk menanam rumput gajah, warga memilih lahan yang subur, strategis, dan dekat dengan rumah. Rumput yang ditanam tidak disesuaikan dengan jumlah ternak yang dimiliki, sehingga terkadang ada rumput gajah yang tingginya sudah lebih dari 2 meter tetapi belum dipanen, sementara itu juga ada peternak yang kekurangan rumput. Hal ini disebabkan masyarakat berpikir yang penting mendapat tempat menanam seluas-luasnya tanpa perlu memperhitungkan kemampuan dan kebutuhan yang sebenarnya.

[12] Beban pajak menanam kopi tahun 2001 tidak diambil oleh mandor Kamto yang mungkin disebabkan rendahnya harga kopi (Rp. 3000,00/ kg) atau makin ketatnya pengawasan Perhutani kepada mandor yang berani makan suap. Bibit kopi diambil dari hutan lindung di daerah Sawangan. Penanaman kopi makin marak sekitar tahun 1998, setelah harga kopi mencapai Rp. 16.000,0/ kg. Melambungnya harga kopi ini membuat warga yang tadinya tidak menanam, ikut-ikutan menanam. Saat ini kopi yang ada di hutan negara kebanyakan baru berumur 2-3 tahun.

[13] Gunung Beser miskin tumbuhan, tonggak kayu pinus menjadi pandangan di lereng gunung. Tonggak kayu pinus mudah sekali terbakar, karena mengandung minyak. Orang sering iseng bermain korek api untuk membakar bekas tongak kayu pinus, sehingga yang tampak tonggak kayu pinus hitam yang hangus terbakar. “Tonggak kayu di hutan itu mempunyai arti. Tonggak kayu yang agak tinggi dan seperti bekas patahan itu berarti akibat bencana angin. Sedang tonggak kayu yang rata tanah bekas senjata tajam, gergaji, kampak, maka bisa jadi karena penjarangan, penebangan oleh Perhutani atau pencurian”.

[14] Untuk membuat rumah memang tidak mungkin bila hanya menggunakan bahan kayu dari tegalan, pasti sebagian harus diambil dari hutan. Masyarakat biasanya mengajak mandor bermain ke rumahnya untuk meminta ijin menebang kayu sambil memberi uang rokok. Uang yang diberikan tidak seberapa kalau dibandingkan harga kayu dipasaran. Jukri memberi mandor Rejo uang rokok sebesar Rp 20.000,00 untuk memotong 2 pohon pinus di daerah Mendongan.

Leave a comment »

Konflik Hutan Vs Antropologi Hukum

Konflik Hutan VS Antropologi Hukum

Murtijo


Pada hakekatnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik kekuasaan dimana hukum dilihat sebagai representasi simbolis kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak yang berkuasa atau suatu bentuk negoisasi historis diantara kelompok yang ada akibat suatu sistem hierarki pelapisan sosial dan dominasi tertentu (Starr & Colier, 1989). Hukum dan aturan-aturan secara substansial hanyalah merupakan suatu alat untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya alam yang berharga dan terbatas. Karenanya, hukum juga dapat dilihat sebagai sebuah perangkat pembenaran tindakan, dan dalam penggunaannya setiap orang yang bersengketa dapat menggunakan berbagai hukum dan aturannya secara sekaligus, atau menggabungkan hukum adat dan hukum lainnya, khususnya hukum nasional, sebagai suatu hukum baru (Achdiat, 1993).

Dalam konteks aturan yang menjadi dasar penetapan kebijakan pengelolaan hutan, hukum tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para individu pembuat aturan. Hukum tertulis senantiasa terkait dengan sistem sosial budaya para birokrat. Di pihak lain, masyarakat di sekitar hutan yang telah menjadi bagian integral dari ekosistem hutan sejak ratusan tahun juga telah memiliki aturan hukum tak tertulis (adat) dalam mengelola hutan. Dengan demikian, sengketa yang terjadi antara manajemen HPH dengan komuniti merupakan sebuah gejala kemajemukan hukum.

Dalam pengertian negara kegiatan pengelolaan hutan oleh individu atau kelompok masyarakat harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini tercermin melalui undang-undang yang mengatur tentang hutan dan kehutanan. Misalnya UU No. 5 tahun 1967 yang telah diganti dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 21 tahun 1970 yang diganti kemudian disempurnakan dengan PP No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan HPHH serta berbagai Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kenyataannya, disamping aturan pemerintah yang bersifat tertulis terdapat pula aturan-aturan lain di luar itu yang juga ditaati serta menjadi acuan sebagian masyarakat lain bagi aktivitas pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Benda Beckman (1989) dalam Ihromi (1993) bahwa hukum tertulis yang merupakan produk dari badan pembuat undang-undang di negara modern bukanlah merupakan suatu sistem hukum yang bukan “sendirian” memonopoli pengaturan kehidupan warga masyarakat. Karena itu yang penting adalah bagaimanakah aturan-aturan yang tidak berasal dari negara bersama dengan hukum negara mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Secara teoritis, bila keberadaan hukum bersifat sejajar (equality) maka hubungan antara manajemen unit HPH dan masyarakat setempat akan bersifat asosiatif. Namun bila dampak dari kemajemukan hukum menyebabkan suatu aturan menjadi subordinat terhadap aturan yang lain, maka akan timbul bentuk hubungan yang bersifat dissosiatif. Bentuk hubungan yang bersifat dissosiatif bisa berkembang dari yang paling ringan seperti kompetisi (competition), sengketa (dispute), balas dendam (feud) hingga perang (war) (Achdiat, 1997).

Kemampuan membuktikan interaksi hukum dalam konteks kemajemukan hukum pada tingkat mikro hanya dapat diperoleh bila diantara komunitas dan komuniti terjadi kasus-kasus konflik. Sebab kasus konflik merupakan suatu bentuk interaksi hukum dimana keberadaan hukum itu memang hidup dan berlaku di tengah masyarakat. Hal ini sangat penting terutama bila dikaitkan dengan keberadaan hukum masyarakat setempat yang tidak tertulis yang sulit kiranya untuk memastikan serta membuktikan bahwa aturan tak tertulis tersebut memang hidup dan berinteraksi di tengah masyarakat setempat. Hoebel (1941) dalam Ihromi (1993) menyatakan bahwa dalam kajian hukum di tengah komunitas yang belum mengenal tulisan dikenal 3 alur pengkajian. Alur pertama disebut alur ideologis dimana diidentifikasi aturan yang umumnya di lingkungan masyarakat setempat bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku. Alur kedua bersifat deskriptif, yaitu mengkaji bagaimana individu-individu masyarakat setempat nyata-nyata bertindak dan berlaku dalam keseharian. Hal ini menyangkut sistem sosial, ekonomi, budaya serta aspek-aspek kehidupan yang lain. Alur ketiga adalah mengkaji ketegangan-ketegangan, perselisihan, keonaran dan keluhan-keluhan yang merupakan konflik diantara para anggota masyarakat setempat.

Karena itu dalam konteks konflik yang terjadi antara manajemen unit HPH yang mendasarkan legalitas kegiatannya pada hukum tertulis dengan masyarakat setempat yang mendasarkan legalitas aktivitasnya pada hukum tak tertulis, menjadi sangat penting untuk melakukan pengkajian atas kedua aturan hukum tersebut di tengah masyarakat. Apakah aturan-aturan hukum tersebut hanya berlaku secara ideologis atau memang hidup dan berinteraksi sesuai dengan perilaku nyata masyarakat setempat yang tercermin dari timbulnya berbagai kasus konflik. Hal ini menjadi lebih relevan mengingat dalam suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa suku atau sub suku juga memiliki perbedaan aturan (tak tertulis) diantara mereka. Suatu obyek konflik bisa memiliki dasar aturan yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Karena itu, pada kenyataannya konflik dapat timbul di antara individu-individu dalam kelompok yang sama (within group atau inter group) atau antar individu pada kelompok yang berbeda, atau terjadi pada kelompok-kelompok (intra group) (Kriekhoff, 1993).

Dalam suatu kasus konflik sangat diperlukan adanya pemahaman terhadap tahapan-tahapan konflik, dimana seseorang bisa menentukan bahwa konflik telah memasuki suatu tahap tertentu. Hal ini secara langsung maupun tidak juga berpengaruh terhadap upaya penyelesaiannya. Nader dan Todd (1978) dalam Kierkhoff (1993) secara eksplisit membedakan tahapan konflik ke dalam (1) pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, (2) konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut., dan (3) sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.

Leave a comment »

Perbankan & Illegal Logging

Optimalisasi Peran Perbankan
Dalam Pemberantasan Praktek Illegal Logging

Oleh: Murtijo

Illegal logging merupakan satu bentuk kejahatan lingkungan luar biasa yang menjadi kendala utama dalam mewujudkan sebuah sistem kelola hutan Indonesia yang mengedepankan aspek keadilan, kelestarian, dan keberlanjutan. Data terakhir menyebutkan bahwa kerusakan hutan telah mencapai luasan sekitar 101,73 juta hektar dimana 59,62 juta hektar berada di dalam kawasan hutan dan 42,11 juta hektar berada di luar kawasan hutan dengan laju deforestasi mencapai 2,8 juta hektar per tahun dengan kerugian negara mencapai Rp. 30,4 juta trilyun. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah malpraktek illegal logging telah menjelma menjadi ledakan sebuah sistem perusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis dan teroganisir. Berdasarkan perhitungan yang dilansir WWF – Bank Dunia, 78 % kayu yang beredar dari hutan Indonesia berasal dari hasil praktek illegal logging. Jelas, hal itu telah berdampak terhadap semakin menyusutnya hutan di wilayah Indonesia. Sumber daya hutan Indonesia mengalami laju degradasi dan deforestasi yang terus bertambah dengan analogi perhitungan, setiap satu menit hutan alam hilang seluas enam kali lapangan sepakbola . Sungguh fenomena yang memprihatinkan.

Salah satu dampak paling nyata adalah ancaman deindustrialisasi kehutanan sebagai akibat kelangkaan bahan baku, makin tingginya biaya produksi serta kian menurunnya daya saing di pasar internasional . Tercatat saat ini 40 % dari industri kehutanan mengalami stagnasi sementara 60 % pelaku usaha di sektor hulu terancam kolaps. Dengan terus menurunnya kinerja sektor kehutanan telah menimbulkan sinyalemen bahwa masa depan dunia usaha kehutanan tidak lagi prospektif. Sebagian pihak menyebut kondisi keterpurukkan sektor kehutanan tersebut dengan sebuah istilah yang populer, yaitu “sunset industry”. Hal itu antara lain tercermin dari masuknya sektor kehutanan sebagai salah satu sektor usaha yang tergolong ke dalam daftar negatif investasi (negative list) di kalangan dunia perbankan . Konkritnya, sektor kehutanan saat ini hampir tidak memperoleh jasa mediasi perbankan (baca: bantuan/kredit pinjaman modal) dalam kegiatan usahanya. Hal ini selain mengakibatkan buruknya kinerja keuangan perusahaan kehutanan juga berdampak terhadap lambatnya atau bahkan tiadanya proses restrukturisasi sektor kehutanan, baik restrukturisasi pengusahaan hutan maupun restruksturisasi industri kehutanan .

Persoalannya, konsep tidak selalu sama dengan realita. Meskipun di tingkat perbankan makro terdapat gejala masuknya daftar negatif investasi sektor kehutanan, namun di lapangan terdapat indikasi keterlibatan perbankan dalam praktek illegal logging maupun praktek pengusahaan hutan yang masuk dalam kategori ilegal. Perbankan secara langsung maupun melalui kerjasama dengan lembaga finance (PT. Leasing) telah memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat untuk memperoleh kucuran kredit guna membeli kendaraan truk dan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan illegal logging . Usaha kehutanan ilegal tersebut dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat di sekitar hutan yang berasal dari kaum pendatang (transmigran) maupun sebagian masyarakat lokal yang berkolaborasi dengan cukong (pemilik modal), oknum aparat dan elit politik lokal. Praktek illegal logging telah meluluhlantakkan sistem pengelolaan hutan lestari di Kota Waringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah.

Kecamatan Tumbang Sangai merupakan salah satu kecamatan yang menjadi sentral terjadinya praktek illegal logging di Kalimantan Tengah. Jumlah truk di Kecamatan Tumbang Sangai yang terlibat dalam kegiatan pengangkutan kayu ilegal diperkirakan mencapai 1500 unit . Truk tersebut sebagian besar berasal dari kredit perusahaan leasing di berbagai kota di Jawa maupun dari ibukota propinsi/ kabupaten melalui jasa mediasi permodalan dari perbankan. Perkiraan dalam satu hari diangkut kayu 4.000 kubik kayu logs/ gergajian , sehingga ditaksir kerugian negara dari kecamatan ini mencapai Rp. 120 milyar per bulan . Adapun tenaga kerja yang terlibat langsung dalam praktek illegal logging mencapai 15.000 orang yang sebagian besar dari transmigran baru . Kegiatan illegal logging ini sangat liquid (menguntungkan) sehingga didukung pihak perbankan maupun oknum aparat pemerintah baik sipil maupun militer. Termasuk pula elit politik lokal. Atas dasar itu praktek illegal logging di Kotawaringin Timur dipastikan dalam jangka panjang akan merusak kelestarian fungsi hutan, meningkatkan ketergantungan masyarakat kepada para cukong serta semakin memiskinkan masyarakat lokal.

Berdasarkan fenomena tersebut tepat kiranya dilakukan suatu pemahaman lebih mendalam tentang   (1) mekanisme pengajuan kredit kepemilikan kendaraan truk yang digunakan untuk kegiatan illegal logging, (2) keterlibatan peran perbankan dalam praktek illegal logging, dan (3) model pemberantasan praktek illegal logging melalui optimalisasi peran perbankan. Diharapkan melalui tiga pemahaman tersebut akan mampu diwujudkan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Leave a comment »

Antropologi & Eksistensi Masyarakat

ANTROPOLOGI &
EKSISTENSI MASYARAKAT DESA HUTAN

Oleh: Murtijo

Masyarakat desa hutan di Indonesia sebagian besar tinggal terpencar di pulau-pulau luar Jawa yang terletak di hulu-hulu sungai pedalaman dan di tengah rimba belantara . Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri dengan spesfifikasi tingkat homogenitas yang tinggi . Beragam ciri spesifik masyarakat desa hutan diyakini mengandung nilai-nilai kearifan tradisional yang mampu menciptakan stabilitas kondisi sosial dan kehidupan harmonis. Nilai-nilai kearfian tradisional masyarakat desa hutan terbentuk dari interaksi antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya yang terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, terbangunlah suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat desa hutan yang menyatu dengan ekosistem hutan. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya.

Keterkaitan hubungan yang erat antara masyarakat dengan lingkungan hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Dinamika budaya yang berjalan secara dinamis sebagai akibat masuknya roh modernisasi dan globalisasi telah merubah keeratan jalinan hubungan antara masyarakat dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan tidak semata-mata dipandang sebagai aspek keseimbangan kosmos, melainkan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar dapat dipenuhi melalui mekanisme transaksi modern menggunakan media uang. Intensitas yang tinggi terhadap orang luar berdampak pula terhadap pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang dipicu oleh budaya kapitalisasi pengusahaan hutan melalui sistem HPH/HTI. Akibatnya, sumber daya hutan mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya serta eksistensi masyarakat mengalami marginalisasi dengan output berupa kemiskinan masyarakat. Karenanya, perlu dilakukan sebuah antisipasi untuk tetap menjaga eksistensi masyarakat melalui mekanisme pemberdayaan yang berdasarkan pada sistem sosial budaya dan potensi alam masyarakat. Antropologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang dapat menjawab persoalan tersebut.

Dinamika Budaya
Masyarakat desa hutan sebagai salah satu bagian integral dari masyarakat dunia tidak terlepas dari proses dinamika budaya. Bahkan proses perubahan ini terjadi sangat cepat terkait dengan masuknya para investor pengusahaan konsesi hutan yang membuka keterasingan masyarakat desa hutan dengan komunitas dunia luar. Masuknya investor pengusahaan hutan dipicu oleh terbitnya kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut menjadi titik tolak intrusi budaya luar ke masyarakat desa hutan. Kedua hal tersebut menjadi faktor pemicu bergulirnya dinamika budaya masyarakat.
Paradoks Kebijakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berimplikasi pada perubahan sistem sosial budaya masyarakat desa hutan. Kebijakan tersebut adalah UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Operasionalisasi UU No 5 Tahun 1967 di lapangan berdampak terjadinya perubahan sistem mata pencarian, kemudahan aksesibilitas, keterbukaan isolasi wilayah, peningkatan pendapatan, dan perubahan ekosistem lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di masyarakat desa hutan seiring masuknya perusahaan konsesi pengusahaan hutan yang merupakan implikasi dari penerapan peraturan perundang-undangan tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Sementara untuk UU No. 5 tahun 1979 yang bertujuan menciptakan keseragaman (uniformitas) sistem pemerintahan yang ada di seluruh Indonesia berdampak terjadinya ketimpangan dan tumpang tindih struktur pemerintahan desa dan adat. Bahkan di beberapa wilayah terjadi kepunahan struktur pemerintahan adat (lokal) yang sebenarnya mempunyai hubungan historis yang kuat dengan warga masyarakatnya. Masyarakat tercerabut dari akar budayanya.

Intrusi Budaya, masuknya budaya luar dalam masyarakat desa hutan dibedakan dalam 2 kategori, yaitu intrusi budaya langsung dan tidak langsung. Intrusi budaya langsung adalah budaya luar bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat (face to face), seperti masuknya kaum missionaris Roma, zending Belanda, pedagang Banjar, dan para karyawan perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan. Sedangkan intrusi budaya yang tidak langsung ialah pengadopsian budaya yang diperoleh dari media informasi, seperti radio, televisi, dan surat kabar. Proses intrusi budaya hingga terjadi akulturasi haruslah melewati tiga tahapan, yaitu inovasi, sosialisasi, dan konsekuensi. Inovasi merupakan proses diketemukannya sebuah gagasan atau ide. Sedangkan sosialisasi adalah proses diperkenalkannya ide baru tersebut kepada orang lain. Tahap konsekuensi adalah proses diterima atau ditolaknya sebuah ide baru tersebut oleh orang lain.

Romantisme kehidupan masyarakat desa hutan yang menyiratkan kesan penuh homogenitas, kesederhanaan, keluguan, dan egaliter dalam perkembangannya mengalami perubahan seiring dengan masuknya modernisasi dan globalisasi . Tujuh unsur budaya masyarakat desa hutan yang berlaku secara universal dan merefleksikan identitas bersama sebuah masyarakat telah mengalami kedinamikaan . Budaya arif masyarakat lambat laun tergerus oleh intrusi budaya yang memamerkan prinsip rasionalitas dan efisiensi dengan memboyong mitos budaya komunitas luar sebagai “simbol kemajuan” sekaligus salah satu upaya mencapai peradaban yang tertinggi. Prinsip rasionalitas dan efisiensi telah merambah ke relung budaya masyarakat desa hutan dengan bukti makin lunturnya budaya barter, kesakralan ritual upacara adat, dan ketegasan hukum adat demi menegakkan aturan sesuai keselarasan ekosistem dan harmoni masyarakat. Budaya masyarakat mengarah ke tipe budaya tinggi atau high culture dengan mengadopsi pola budaya masyarakat perkotaan. Eksistensi masyarakat desa hutan berada dalam ambang batas liminal di pusara “paradoks” kebudayaan antara ada dan tiada. Puncak dari runtuhnya eksistensi masyarakat desa hutan adalah ancaman ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas.

Antropologi dan Eksistensi Masyarakat Desa Hutan
Antropologi dalam perkembangan tahap akhir keilmuan mempunyai dua tujuan utama, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis . Antropologi kehutanan lahir dari perkembangan ilmu yang bersifat praktik atau terapan dengan tujuan memberikan sumbang sih pemikiran guna mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Sejarah pengelolaan hutan yang ada di Indonesia selama estafet rezim pemerintahan menghasilkan sistem kelola eksploitatif yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Secara garis besar konflik kehutanan disebabkan oleh 4 persoalan pokok, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) kerusakan ekologi sumber daya hutan, dan (4) marginalisasi masyarakat desa hutan. Memahami persoalan sektor kehutanan, maka dalam perspektif antropologi terapan dapat dimaknai bahwa persoalan kehutanan telah merambah ke dalam 4 aspek sosial, yaitu aspek hukum, politik, ekologi budaya, dan ekonomi pembangunan . Marginalisasi masyarakat desa hutan dalam spesialisasi antropologi terapan dapat dikaji menggunakan antropologi pembangunan dan antropologi ekonomi melalui pendekatan pemberdayaan.
Kemiskinan masyarakat desa hutan saat ini mencapai 10,2 juta jiwa sebagai imbas pembangunan sektor kehutanan yang bersifat sentralistik yang manfaatnya hanya dinikmati oleh segelintir orang di elit birokrat dan pemilik modal. Konsep pemerataan buih pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, justru masyarakat desa dari hari ke hari semakin mengalami marginalisasi. Masyarakat desa hutan mengalami ketertinggalan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, dan ketersediaan fasilitas umum lainnya. Intinya, masyarakat justru terus terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Melalui pendekatan ilmu antropologi terdapat dua skenario yang dapat dilakukan dalam rangka eksistensi dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, yakni penguatan identitas, dan sikap tanggap budaya.

Penguatan identitas. Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Identitas bersama dari masyarakat desa hutan yang dibangun sejak ribuan tahun yang lalu dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan, seiring terjadinya difusi budaya . Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat sebagai upaya mengeksistensikan kembali masayarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan.

Sikap tanggap budaya. Masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak ada alasan untuk menutup diri dari pengaruh budaya luar. Konsep-konsep positip modernisasi dan globalisasi harus segera disosialisasikan dan diaplikasikan dalam program pembangunan di masyarakat desa hutan. Akulturasi konsep-konsep positip modernisasi dengan sistem budaya arif masyarakat akan mampu mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan . Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistem tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan. Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat.

Penutup
Pemberdayaan masyarakat desa dan di sekitar dan dalam hutan harus menjadi sebuah program komprehensif, holistik, koordinatif dengan melibatkan multi stakeholder. Pemberdayaan masyarakat desa hutan diarahkan pada program pemberdayaan yang adaptif terhadap sistem ekologi hutan, berbasis sistem sosial budaya setempat, produktif dan berorientasi pasar, membangun enterpreunership, dan mewujudkan kelembagaan partisipatif. Diharapkan melalui program tersebut akan terwujud sebuah program pemberdayaan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, sesuai potensi bio fisik setempat, serta aplikatif di lapangan. Antropologi mempunyai tugas sejarah untuk mewujudkan masyarakat desa hutan yang sejahtera dan mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara adil, lestari dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Anonimus, 1967. “UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan”. Jakarta.
—————, 1979. “UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa”. Jakarta.
Djuweng, Stepanus, 1996, “Dampak Sosial Budaya HPH: Kasus Semandang Kanan”, IDRD: Pontianak.
Kartodiharjo, Hariadi. 1999. “Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi”, Pustaka Latin : Bogor.
Koentjaraningrat,. 1982, “Masyarakat Pedesaan di Indonesia”, dalam Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES: Jakarta
Nugaha, A & Murtijo, 2005, “Antropologi Kehutanan”, Wana Aksara, Banten
Peluco, Nancy L,. 1994, “Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java”, London: University of California Press
Scoot, James C, 1992, “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”, LP3ES, Jakarta.

Leave a comment »

Antropologi Kehutanan

ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Oleh: Murtijo[1]

Kehutanan Indonesia sedang mengalami chaos. Ada empat persoalan akut yang sedang dihadapi oleh hutan dan kehutanan Indonesia, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) marginalisasi masyarakat desa hutan, dan (4) kerusakan ekologi sumber daya hutan. Keempat persoalan tersebut disebabkan oleh kekurangpahaman dari para pengelola sektor kehutanan terhadap sistem tata nilai, norma, dan sitem sosial budaya yang berlaku di masyarakat setempat secara mendalam dan komprehensif. Antropologi merupakan salah satu sub disiplin ilmu sosial yang mempunyai kemampuan pekerjaan tersebut. Karenanya, lahirlah sub disiplin ilmu antropologi terapan bidang kehutanan yang disebut antropologi kehutanan. Antropoogi kehutanan memiliki spesifikasi strategi pendekatan mikro, komparatif, dan holistik serta diperkuat dengan analisa teori fungsionalisme struktural, perubahan sosial, relativisme budaya, serta ekologi budaya yang disesuaikan dengan spesialisasi persoalan kehutanan. Atas dasar itu, menjadi tugas sejarah antropologi kehutanan untuk ikut andil dalam mewujudkan sistem pengelolaan hutan Indonesia yang adil, lestari dan berkelanjutan.

Demikianlah kupasan buku bertajuk “Antroplogi Kehutanan” yang terdiri dari 5 bab dengan total xxiv + 189 halaman ini. Sebuah buku yang menggelitik peran Antropolog Indonesia, seiring tergesernya antropologi konvensional yang lebih menilai tinggi prinsip “ilmu untuk ilmu” ke sub disiplin ilmu antropologi yang lebih mengedepankan aspek “terapan”. Masyarakat makin menuntut amal bakti nyata para antrooplog untuk ikut andil menyelesaikan persoalan bangsa. Antropologi kehutanan merupakan salah satu karya dalam upaya beramal bakti guna memecahkan satu persoalan bangsa, yaitu carut-marutnya sistem pengelolaan hutan di Indonesia.

1. SEJARAH ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Kelahiran antropologi diawali oleh rasa ketertarikan bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa pribumi yang tinggal di luar lingkungan daerah kebudayaannya. Antropologi dalam perkembangan tahap akhir keilmuan mempunyai dua tujuan utama, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis[2]. Antropologi kehutanan lahir dari perkembangan ilmu yang bersifat praktik atau terapan dengan tujuan memberikan sumbang sih pemikiran guna mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Sejarah pengelolaan hutan yang ada di Indonesia selama estafet rezim pemerintahan menghasilkan sistem kelola eksploitatif yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Secara garis besar konflik kehutanan disebabkan oleh 4 persoalan pokok, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) marginalisasi masyarakat desa hutan, dan (4) kerusakan ekologi sumber daya hutan. Memahami persoalan sektor kehutanan, maka dalam perspektif antropologi terapan dapat dimaknai bahwa persoalan kehutanan telah merambah ke dalam 4 aspek sosial, yaitu aspek hukum, politik, ekonomi pembangunan, dan ekologi sosial[3].

2. METODE DAN

PENDEKATAN ANTROPOLOGI KEHUTANAN

Antropologi kehutanan merupakan ilmu yang mempelajari sistem budaya masyarakat secara menyeluruh dalam kaitan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di setiap masyarakat mempunyai ciri khas tersendiri (local spesific) sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat[4]. Pembelajaran suatu sistem budaya masyarakat dapat dilakukan melalui metode penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara[5] dan observasi partisipasi[6].

Hasil kumpulan data kualitatif kemudian ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah yang disebut etnografi. Etnografi dalam antropologi kehutanan merupakan gambaran faktual sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang dipraktekkan oleh masyarakat dalam konfigurasi sistem budaya. Etnografi kehutanan berusaha memberi gambaran sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara menyeluruh dan lengkap. Hal ini disebabkan antropologi kehutanan menggunakan strategi pendekatan holistik[7] melalui pendekatan studi mikro dan komparatif.

Untuk mendapatkan suatu analisa yang tajam dalam deskripsi pola pemanfaatan sumber daya hutan suatu komunitas atau masyarakat, maka dalam antropologi kehutanan dikenal 4 teori analisa dasar[8]. Adapun keempat teori analisa dasar tersebut, adalah (1) analisa teori fungsionalisme struktural, (2) perubahan sosial, (3) relativitas budaya, dan (4) ekologi manusia. Keempat teori antropologi tersebut dianggap paling relevan untuk memahami persoalan kehutanan dan gejala budaya yang ada di masyarakat.

3. ANTROPOLOGI

DAN EKSISTENSI MASYARAKAT DESA HUTAN

Masyarakat desa hutan di Indonesia sebagian besar tinggal terpencar di pulau-pulau luar Jawa yang terletak di hulu-hulu sungai pedalaman dan di tengah rimba belantara[9]. Masyarakat desa hutan berdasar pada penggolongan tipe sosio-kultural termasuk dalam golongan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal di daerah-daerah pedalaman. Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri spesifikasi dengan tingkat homogenitas yang tinggi serta terikat dengan ekosistem lingkungan. Hutan merupakan satu kesatuan budaya yang dijadikan sebagai tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya.

Keterkaitan erat antara masyarakat desa hutan dengan lingkungan sumber daya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Budaya masyarakat desa hutan mengalami benturan dengan bermacam paradoks kebijakan dan intrusi budaya yang mengancam lunturnya nilai-nilai kearifan masyarakat. Dalam konteks masyarakat desa hutan terdapat dua kebijakan pemerintah yang berdampak secara signifikan terhadap dinamika masyarakat desa hutan, yakni UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan[10] dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa[11]. Sementara dalam konteks intrusi budaya dibedakan menjadi dua, yaitu intrusi budaya langsung dan tidak langsung[12]. Saat ini, dinamika budaya di masyarakat desa hutan terus berlangsung seiring gelombang globalisasi dan modernisasi. Dinamika kehutanan yang terus berlangsung hendaknya menjadi perhatian para pihak (antropologi kehutanan) untuk mengeksistensikan masyarakat desa hutan. Ada dua hal yang dapat dicobaterapkan untuk mempertahankan eksistensi masyarakat desa hutan, yaitu penguatan identitas[13] dan sikap tanggap budaya[14].

4. PENERAPAN ANTROPOLOGI

DALAM PERSPEKTIF KEHUTANAN

4.1. Antropologi Hukum: Pluralisme Hukum dan Konflik Tenurial

Pluralisme hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dipahami secara komprehensif oleh para pengambil kebijakan bidang kehutanan. Hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan diberlakukan secara seragam –baca: sama- dengan mengabaikan aspek keragaman budaya dan spesifikasi jenis hutan. Akibatnya, munculah konsep unifikasi hukum untuk mengatur masyarakat desa hutan dan penyeragaman sistem kelola hutan. Realita ini berdampak pada konflik tenurial antara masyarakat desa hutan dengan pemerintah ataupun perusahaan pemegang konsesi hutan. Dampak lebih lanjut dari penyeragaman sistem hukum di masyarakat desa hutan adalah terjadinya dualisme hukum antara hukum formal dan hukum adat. Dualisme hukum memancing terjadinya konflik horisontal maupun vertikal di masyarakat desa hutan. Konflik yang berkembang paling efektif diminimalisir apabila dilakukan pendekatan antropologi hukum yang mengedepankan pada aspek budaya.

4.2. Antropologi Politik : Otonomi Manajemen Hutan Lestari

Politik sentralisasi kehutanan yang mengedepankan aspek penyeragaman program dan kebijakan top down telah berdampak pada kekurang berhasilan pengelolaan sumber daya hutan. Kondisi ini mencapai puncaknya pada masa reformasi yang mengedepankan pada konsep desentralisasi kehutanan untuk mengoptimalkan peran daerah dan memutus bingkai birokrasi. Kenyataannya, dalam realita lapangan terjadi euforia reformasi yang memutarbalikan konsep desentralisasi untuk kepentingan pribadi. Karenanya, justru desentralisasi berdampak pada carut marutnya sektor kehutanan. Meskipun, menjadi suatu keniscayaan penerapan desentralisasi untuk menyelamatkan sektor kehutanan. Persoalannya adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia guna mengawal otonomi manajemen hutan lestari. Antropologi politik merupakan media paling efektif untuk mengawal penerapan otonomi manajemen hutan lestari yang berbasis pada manajemen hutan berbasis masyarakat (community based forest management).

4.3. Antropologi Pembangunan: Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan

Kemiskinan masyarakat desa hutan yang mencapai 10,2 juta jiwa merupakan persoalan utama dalam sistem pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Buih pembangunan sektor kehutanan baru dinikmati oleh segelintir orang yang terpusat di elit birokrat dan pemilik kapital. Konsep pemerataan buih pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, justru masyarakat desa dari hari ke hari semakin mengalami marginalisasi. Masyarakat desa hutan mengalami ketertinggalan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, dan ketersediaan fasilitas umum lainnya. Intinya, masyarakat desa hutan justru terus terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Memahami persoalan tersebut menjadi tugas besar bagi bangsa Indonesia, khususnya para antropolog pembangunan dan ekonomi untuk menyelamatkan masyarakat desa hutan. Ada 3 kiat dari antropologi pembangunan yang dapat diterapkan guna pembangunan masyarakat desa hutan, yaitu penguatan institusi lokal, pengedepanan demokratisasi, serta pemberdayaan masyarakat.

4.4. Antropologi Ekologi: Pengelolaan Hutan Lestari

Pengedepanan aspek ekonomi oleh para pelaku sektor kehutanan telah berdampak pada rusaknya sistem ekologi hutan. Hutan dalam perspektif budaya masyarakat desa hutan merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Sistem pengelolaan hutan sebaiknya berakar pada pluralitas budaya masyarakat dengan mengedepankan kebhinekaan program pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik budaya dan lingkungan setempat. Pendekatan antropologi ekologi yang mendasarkan pada studi mikro dengan kajian komparatif dan holistik sangat membantu terwujudnya program pembangunan yang benar-benar berakar dari sistem budaya dan ekologi masyarakat yang bersifat lokal spesifik. Pemahaman sistem ekologi budaya masyarakat desa hutan secara mendalam akan berujung terwujudnya sistem pengelolaan hutan lestari yang berkeadilan serta berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

5. TUGAS SEJARAH ANTROPOLOGI KEHUTANAN

DALAM MEWUJUDKAN KELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN

Demikianlah, antropologi kehutanan sebagai sebuah sub ilmu antropologi dengan usia yang relatif masih sangat muda melalui berbagai dialektikanya telah memberi kontribusi positif bagi terwujudnya pengelolaan hutan secara adil, demokratis dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Karena itu, diundang sumbang sih para antropolog dan pelaku kehutanan lainnya untuk mendarmabaktikan ilmu dan pengetahuannya guna menciptakan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan kelestarian hutan Indonesia. Bravo antropologi kehutanan Indonesia.


[1] Staf Lembaga Riset dan Kajian Bidang Kehutanan dan Lingkungan, Wana Aksara.

[2] Tujuan akademis ilmu antropologi adalah mencapai pengertian umum (general) tentang makhluk manusia dengan cara mempelajari secara menyeluruh berbagai bentuk fisik manusia, sistem masyarakat, dan kebudayaan manusia. Sedangkan tujuan praktis antropologi adalah mempelajari kebudayaan manusia dalam beragam totalitas masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa yang maju sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

[3] Sementara dari masing-masing aspek telah dikupas dalam spesialisasi antropologi terapan, yaitu antropologi hukum, antropologi ekonomi, antroplologi pembangunan, maupun antroplogi ekologi. Karena itu, Antropologi kehutanan merupakan gabungan dari 5 spesialisasi ilmu antroplogi terapan di atas.

[4] Karakteristik budaya masyarakat menentukan pola pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, sebab budaya suatu masyarakat berakar pada karakteristik lingkungan yang ada di sekitarnya. Untuk memahami karakteristik suatu budaya masyarakat, maka diperlukan upaya pembelajaran sistem budaya masyarakat yang meliputi aspek gagasan, perilaku, dan hasil karya dari budaya suatu masyarakat.

[5] Terdapat 3 bentuk teknik wawancara yang biasa digunakan dalam penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu (1) wawancara bebas (open interview), (2) wawancara mendalam (depth interview), dan (3) wawancara berencana (standarized interview).

[6] Teknik pengamatan dalam penelitaian sosial budaya dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu (1) teknik pengamatan terlibat (partisipant observation)[6], dan (2) teknik pengamatan biasa.

[7] Koentjaraningrat (1996:85) mendefinisikan metode holistik sebagai suatu usaha untuk melihat segala sesuatu dalam hubungan yang seluas-luasnya dalam kerangka untuk melihat dan memahami saling hubungan dan saling ketergantungan. Istilah holistik digunakan untuk menggambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap suatu kebudayaan sebagai kesatuan yang integral. Metodologi holistik dikembangkan oleh ilmu antropologi, ketika penelitiannya masih dalam fase komunitas kecil di pedesaan. Penelitian tersebut memerlukan waktu yang relatif lama, rata-rata sekitar satu tahun

[8] Dalam antropologi sangatlah banyak teori ilmu yang dapat dipakai sebagai pisau analisa kasus, namun dalam studi antropologi kehutanan dipilih 4 teori analisa dasar dengan pertimbangan tingkat relevansi persoalan yang ada di sektor kehutanan. Adapun keempat teori tersebut adalah teori fungsionalisme struktural, perubahan sosial, relativitas budaya, dan ekologi manusia.

[9] Antropolog wanita bernama Hildred Geertz menggolongkan masyarakat yang ada di Indonesia dalam 3 tipe sosio-kultural, yaitu (1) tipe masyarakat yang mengembangkan kehidupan pertanian sawah di daerah pedalaman, (2) tipe masyarakat pantai yang memiliki orientasi perdagangan, dan (3) tipe masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal di daerah-daerah pedalaman.

[10] Operasionalisasi undang-undang tersebut di lapangan berdampak secara nyata pada dinamika sosial budaya masyarakat desa hutan, yaitu terjadinya perubahan sistem mata pencarian, kemudahan aksesibilitas, keterbukaan isolasi wilayah, peningkatan pendapatan, dan perubahan ekosistem lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di masyarakat desa hutan seiring masuknya perusahaan konsesi pengusahaan hutan yang merupakan implikasi dari penerapan peraturan perundang-undangan tentang Pokok-Pokok Kehutanan.

[11] Digulirkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ditujukan untuk menciptakan keseragaman (uniformitas) sistem pemerintahan yang ada di seluruh Indonesia. Upaya penyeragaman merupakan satu diantara paket politik sistem pemerintahan Orde Baru, disamping pendekatan terpusat (sentralistik) dan militerisme. Pemaksaan sistem pemerintahan yang cenderung bias Jawa di seluruh masyarakat Indonesia yang multietnis berakibat terjadinya ketimpangan dan tumpang tindih struktur pemerintahan desa dan adat

[12] Intrusi budaya langsung adalah budaya luar bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat (face to face), seperti masuknya kaum missionaris Roma, zending Belanda, pedagang Banjar, dan para karyawan perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan. Sedangkan intrusi budaya yang tidak langsung ialah pengadopsian budaya yang diperoleh dari media informasi, seperti radio, televisi, dan surat kabar.

[13] Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan.

[14] Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistem tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan. Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat.

Leave a comment »